Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 12


Gw dan Meva sudah bersiap berangkat ke rumah Indra sekitar pukul sepuluh siang. Yg bikin lama tuh nunggu Meva mandi plus dandan. Yah namanya cewek semua sama laah kalo soal durasi gituan. Karena gw memang gak punya motor, maka kami memutuskan untuk pake angkot. Nanti ganti pake becak deh buat sampe ke rumah Indra.

Dan gw inget banget hari itu Meva pake kaos oblong putih plus celana jeans panjang biru muda. Dengan rambut panjangnya dikuncir ke belakang, Meva keliatan manis banget. Ah, andai aja dia cewek gw! Hahahahaha...

Nyampe di lantai bawah gw ketemu Raja lagi ngunci pintu kamernya. Dia keliatannya mau pergi. Gw inget dia kan mau keluar sama ceweknya.

"Wuiih....Pangeran Charles dan Putri Diana," katanya mengejek begitu melihat gw dan Meva. "Mau kemanakah gerangan?"

"Sialan lo," bales gw sementara Meva di sebelah gw cuma senyum-senyum. "Mana cewek lo? Katanya mau ke Cikarang?"

"Iya ini gw mau berangkat. Cewek gw nunggu di kosannya."

"Lo nggak pake motor?" lanjut gw.

Raja menggeleng.

"Mau pake bus aja. Cewek gw nggak demen lama-lama pake motor."

"Nah, kalo gitu gw pinjem motor loe aja deh!"

Raja diam sebentar.

"Boleh.." katanya. "Lo punya SIM kan?"

"Punya donk."

"Ya udah, tapi balik nanti tank gw full loh."

"Beres!"

Raja membuka pintu kamernya lagi dan mengeluarkan sepeda motornya. Dia juga menyerahkan satu buah helm hitamnya.

"Surat-suratnya ada kan?" tentu saja yg gw maksud adalah STNK.

"Ada tuh lengkap di bagasi. Tenang aja pake motor gw mah aman. Dua tahun gw pake ni motor nggak pernah sekalipun kena tilang," kata Raja setengah promosi.

"Sip deh. Gw cabut dulu ya," gw dan Meva sudah bersiap di atas jok motor.

"Ya ya ya. Salamin buat si gundul yaah."

"Oke."

Dan berangkatlah kami menuju Karawang Barat. Gw baru sekali ke sana waktu nganter Indra pindahan, tapi gw masih inget jelas jalannya.

"Lo kok dari tadi diem aja Va?" gw ajak ngobrol Meva. Motor melaju cukup pelan di angka 50.

"Eh, enggak kok enggak papa. Masih ngantuk aja..." jawabnya. "Kirain tuh mau ke Indra nya sore atau malem. Tau gini kan semalem gw nggak begadang?"

"Ya udah kita balik lagi aja kalo gitu?"

"Yeeey udah tanggung laah masa balik lagi?"

"Emmh ya udah lo tidur aja, gw jalannya pelan deh. Tapi lo peluk gw, biar nggak jatoh."

"Yaaaaah maunya elo itu mah biar dipeluk sama gw!" Meva menempeleng kepala gw.

Gw tertawa lebar.

Selama perjalanan kemudian kami lebih banyak diam. Kami baru saja melewati Mall Karawang, ketika tiba-tiba dari belakang terdengar bunyi klakson nyaring. Sebuah motor gede warna putih dikendarai seorang pria berseragam lengkap memepet kami ke tepi.

"Selamat siang Pak," dia memberi hormat sesaat. Di helmnya ada tulisan "Polisi" warna biru terang. "Mau ke mana nih?" lanjutnya.

"Mmmh...ke Karaba Pak," jawab gw cukup gugup. Baru pertama ini gw di gape sama Polisi di jalanan. Tukang becak dan warung yg ada di sekitar kami memandang penuh minat ke arah kami bertiga.

Gw lirik Meva, dia cuma diam sambil mengangkat bahu.

"Bisa tolong tunjukkan surat-suratnya?"

"Oh bisa bisa," gw turun dari motor dan bergegas membuka bagasi. "Ada di sini suratnya."

"Ini Pak," gw menyerahkan selembar kertas dari dalam bagasi secara sembarangan. Cukup banyak kertas-kertas di sini.

"Apaan nih??" Polisi di depan gw merentangkan kertas di tangannya. "Ini kan fotokopi Kartu Keluarga?"

Weiitz !! Iya, gw baru inget biasanya STNK kan pake sampul plastik gitu yak? Kertasnya jg warna kuning gitu. Yg di tangan Polisi itu memang Kartu Keluarga. Meva di sebelah gw udah cekikikan aja tuh. Nggak tau apa gw lagi nervous gini??

"Saya minta STNK sama SIM. Bukan Kartu Keluarga?" Polisi itu geram. Dikiranya gw sengaja kali yak.!

Langsung dah tuh gw ambil tumpukan kertas surat yg gepeng ditimpa jok motor. Polisi di depan gw berdiri menunggu dengan tidak sabar.

"Sialan, dasar anak gendenk! Ngapain segala Akte Lahir ditaro di bagasi!" gw memaki dalam hati.

"Ada nggak STNK nya?" bisik Meva ke gw.

"Lagi gw cari," jawab gw pendek. Kesel sendiri jadinya.

"Ada nggak??" Polisi itu makin tidak sabar.

Setelah selanjutnya menemukan kopian surat dokter dan surat keterangan domisili, akhirnya gw dapatkan STNK. Buru-buru gw serahkan tuh STNK plus SIM gw ke Polisi yg kayaknya lagi laper.

"Kenapa nggak pake spion? Plat luar kota, tapi belagu banget di jalanan Karawang.." lanjut Polisi itu setelah beberapa saat mengecek SIM dan STNK gw.

"Maaf Pak, kemaren abis kecelakaan soalnya. Ini baru mau beli spion." Ada aja yg kena kalo sama Polisi!

Gw deg-degan, tapi nggak tau kenapa si Meva masih aja cekikikan menahan tawa. Apanya yg lucu siih???

Dan setelah beberapa menit mendengarkan ocehan si Polisi tentang pasal yg gw langgar, akhirnya disepakatilah ganti denda sebesar tigapuluhlima ribu perak karena gw menolak untuk melakukan sidang di Polres Karawang.

"Laen kali jangan lewat jalan gede kalo nggak mau ditilang," kata petugas Polisi sebelum gw pergi.

Aarrrggggh.......nggak papa lah, gw anggep sodakoh aja buat fakir miskin.!

Ada sebuah cerita unik yg terselip selama bertahun-tahun gw di Karawang bersama Meva..

Suatu malam di akhir Agustus...

Gw lagi asyik-asyiknya mimpi indah waktu gw mendadak terjaga karena guncangan di kepala gw.

"Bangun Ri..." suara Meva terdengar jelas.

"Apa-apaan siih bangunin gw jam segini?" gw menepis tangannya dari rambut gw. Kepala gw terasa berdenyut akibat jambakan tadi. "Pake jambak-jambak kepala orang? Besok gw kerja Va.."

Gw mengeluh kesal. Gw yakin saat ini belum nyampe tengah malam. Rasanya baru beberapa menit yg lalu gw tidur. Kamer gw juga masih gelap. Gw memang selalu tidur dengan lampu padam.

"Bangun dulu bentar lah," kata Meva lagi.

"Ada apaan sih?" bahkan gw nggak bisa melihat wajah Meva. Gw cuma tau dari suaranya, dia ada di sisi kiri gw.

"Bangun aja dulu," lanjutnya.

"Gw udah bangun. Bilang aja apaan. Nggak usah bertele-tele, ngantuk gw."

"Bangun," dia menarik gw duduk. Dan dengan sangat terpaksa gw bangun sambil otak gw masih berusaha mengingat mimpi apa tadi.

"Oke. Ikut gw keluar," siluet seseorang menghalangi pandangan tepat di depan gw. Siluet seorang perempuan.

"Mau ngapain siih?? Ganggu orang tidur tau!!" gw setengah berteriak mulai kehabisan kesabaran.

"Yeeeee nggak pake nyolot kali!" bayangan hitam di depan gw berkacak pinggang.

"Iya iya ada apaan sih emang?" gw pelankan suara gw.

"Ikut gw keluar," ucapnya lalu menarik tangan gw.

Aah, kerasukan apa siih ni anak?? Gw menggerutu dalam hati. Malem-malem bangunin orang tidur!

Pintu terbuka dan sinar lampu di luar akhirnya melunturkan bayangan hitam di depan gw, menggantinya dengan sosok Meva yg tetap saja terlihat manis meski kesadaran gw belum sepenuhnya pulih.

Meva membawa gw berdiri di beranda, menghadap sawah luas di depan sana. Bulan sedang nyaris purnama jadi cukup jelas buat gw melihat yg ada di kejauhan.

"Ini?" tanya gw. "Jadi lo bangunin gw cuma mau nunjukkin ini? Sawah-sawah ini??"

Meva nggak menjawab. Dia malah menggoyang-goyang kepala gw.

"Udah kumpul belum nyawa loe?" ujarnya.

Mau nggak mau kantuk gw lenyap.

"Ada apaan sih Va?"

Meva tersenyum lalu menunjuk bulan di langit.

"Indah yaa..." kalimat yg sudah bisa gw tebak.

"Biasa aja," komentar gw pendek.

"Indah tau! Lo nggak sensitif banget siih?"

Gw mencibir pelan.

"Akan lebih indah kalo lo mengijinkan gw balik ke kasur. Gw ngantuk Va, besok kudu kerja." lalu gw berbalik hendak kembali ke kamer gw.

"Tunggu bentar," Meva menahan tangan gw.

Dengan sejuta perasaan dongkol gw turuti maunya. Gw tetap berdiri di posisi gw, menghadap sawah yg harus gw akui memang indah tertimpa cahaya bulan, sementara Meva bergegas ke kamernya. Oke deh, gw mau liat maksud dan tujuannya malem ini bangunin gw secara paksa.

Gw menatap pemandangan di hadapan gw sambil bertopang dagu. Dari belakang gw terdengar derit pintu dibuka disusul derap langkah pelan menuju tempat gw berdiri. Pasti si Meva.

"Ri," panggilnya.

Gw menoleh dan langsung terkejut. Meva sedang menenteng di depan dadanya, sebuah kue cokelat kecil dengan lilin angka '23' menyala cantik di atasnya.

"Happy birthday...!" kata Meva penuh semangat.

Gw terperangah. Jadi ini maksudnya bangunin gw tengah malem? Sumpah gw sendiri nggak inget kapan ultah gw!

"Buat gw nih?" gw masih bingung.

"Emang sapa lagi, dodol? Ya elo lah! Selamat ulang tahun yg ke enampuluhtiga!"

"Enak aja! Gw tua banget donk?" dan kami berdua pun tertawa.

"Lo tau dari mana hari ini gw ultah?" tanya gw ingin tahu.

"Gw pernah liat di KTP lo." Meva menaruh piring kue di tembok. Apinya bergoyang pelan tertiup angin.

"Tapi seinget gw kayaknya bukan hari ini deh..." gw coba mengingat. "Bentar gw cek dulu deh KTP nya."

Gw ke kamer, ambil KTP dari dompet lalu keluar dan bersama-sama Meva mengecek tanggal lahir gw.

"Tuh kan?" seru gw. "30 September Va! Bukan 30 Agustus!"

Meva melongo. Meski berkali-kali mengecek, tanggal lahir di KTP gw nggak berubah. Meva menutup mulut dengan kedua tangannya tanda terkejut.

"Masa sih?" katanya kaget. "Gw salah donk?..." dan memandang gw malu.

Gw nggak bisa menahan tawa. Wajah Meva bersemu merah saking malunya. Dia nampaknya cukup shock.

"Sorry..gw pikir hari ini," Meva menatap iba kue di tembok.

"Makanya laen kali pastiin dulu lah," gw masih terkikih. Dalam hati kasian juga dia udah siapin surprize ini.

"Jadi gimana donk? Gw udah sengaja siapin kuenya juga.."

"Emh..ya udah, berhubung udah terlanjur, khusus buat tahun ini gw majuin ultah gw sebulan deh. Anggep aja hari ini gw beneran ultah." usul gw.

Meva tertawa pelan.

"Ide bagus tuh," sahutnya. "Ya udah deh tiup tuh lilinnya. Keburu mati dulu."

Fiiuuuh.....

Gw langsung meniup mati dua api lilin itu disusul tepukan tangan Meva. Dan akhirnya, malam itu jadi salahsatu malam yg nggak terlupakan buat gw. Kami duduk di tepi tembok, makan bareng kuenya sambil ngobrol ringan. Meski tanpa kado, toh nggak mengurangi makna malam ini secara keseluruhan. Biar gimanapun gw sangat menghargai upaya Meva merayakan ultah gw. Hmmm...malem ini memang indah Va....

Dan hari yg paling membahagiakan itu pun akhirnya tiba. Sohib gw Indra akhirnya menggelar resepsi pernikahannya, sekitar dua minggu setelah lebaran Iedul Fitri. Tanpa tunangan dan langsung ke gelaran pernikahan.

Jauh-jauh hari dia pernah mengenalkan calon istrinya, Dea namanya. Waktu itu mereka berdua maen ke kosan, dan diperkenalkan lah Dea ke gw dan Meva. Indra juga minta gw buat jadi pendamping pengantin pria, saat ijab qabul nanti. Oke gw setuju. Meva juga dilibatkan. Kalo gw jadi yg mendampingi Indra dari rumahnya menuju tempat hajat dan saat momen ijab qabul, maka Meva diminta Indra untuk mendampingi Dea, yg pada prosesi nya akan "menjemput" pengantin pria setelah prosesi akad nikahnya selesai. Meva nggak langsung setuju. Dia tadinya keberatan karena dia nggak terbiasa dengan suasana rame seperti pernikahan, tapi setelah dibujuk oleh Dea, akhirnya dia mau juga. Dea berjanji akan menyiapkan busana khusus buat kami berdua.

Gw seneng banget dilibatkan dalam acara ini karena gw juga jadi bisa belajar buat resepsi gw yang entah kapan itu terjadi. Hahaha.. Pokoknya mah gw akan laksanakan 'tugas negara' dengan sebaik-baiknya.

Minggu pagi yg cerah seolah jadi pertanda bahwa hari ini benar-benar akan jadi hari yg paling bersejarah di hidup Indra. Gw dan Meva tiba di rumah Indra sekitar jam setengah tujuh pagi dan langsung disambut pelukan bahagia sohib gw. Indra sedang akan dirias karena dijadwalkan akadnya jam sembilan ini. Tapi kalo gw liat dia agak nervous juga. Sudah selayaknya gw memberinya dorongan semangat.

"Thanks banget ya Ri udah mau bantu gw," kata Indra. "Loe juga Va..thanks berat deh buat kalian berdua!"

"Udah sana siap-siap," kata gw. "Biar gw sama Meva nunggu di sini aja." waktu itu kami ada di ruang tengah.

"Kalian udah sarapan belum?" tanyanya.

"Beluum!" Meva yg menjawab, setengah frustasi dan setengah bersemangat. Tadi kami memang buru-buru berangkat ke sini takut terlambat.

"Ya udah kalian sarapan aja dulu gieh. Di dapur banyak masakan tuh. Abis itu kalian ke kamer gw. Kalian juga akan dirias. Kalian kan pendamping pengantin." lanjut Indra yg kemudian masuk ke kamarnya.

Suasana rumah ini cukup ramai. Selain nyokap Indra yg tentu saja datang, ada juga rombongan sanak family dari Sidoarjo. Jadilah rumah ini seperti panggung ludruk, karena mereka semua berbicara dalam logat Jawa yg kental. Layaknya orang yg menggelar hajatan, masing-masing orang di sini juga sibuk dengan tugasnya. Ada yg menyiapkan seserahan, memastikan keadaan mobil yg akan dipakai, dan beberapa hal lain yg tentunya harus dipersiapkan sebaik-baiknya demi acara sakral ini. Gw dan Meva sarapan di dapur sambil ngobrol-ngobrol sama nyokapnya Indra. Rupanya Indra cukup banyak bercerita tentang kami ke nyokapnya, karena tanpa memperkenalkan diri pun beliau udah tau kami berdua yg akan jadi pendamping pengantin. Jadilah kami asyik ngobrol sampe Indra kemudian meminta gw dan Meva untuk segera dirias. Gw dirias di kamer Indra, sementara Meva di kamer yg lain.

Sebenernya bukan dirias kayak cewek siih. Dengan make up sederhana dan setelan jas hitam rapi dengan kopiah, rasanya orang akan bingung membedakan yg mana pendamping dan yg mana pengantinnya. Hahaha. Tapi enggak dink. Indra dengan busana kolaborasi Jawa-Sunda tampak mencolok dari yg lain.

Hari ini yg gw liat seperti bukan Indra yg gw kenal selama ini. Dia begitu beda sekarang, lebih dewasa dan matang dengan busana pengantinnya. Setelah semua dirasa beres, sekitar jam setengah sembilan semua berkumpul di ruang tamu. Di luar terdengar suara mesin mobil yg sedang dipanaskan. Gw dan Indra berjalan berdampingan menuju ruang tengah. Di sana nyokapnya Indra udah nunggu. Beliau langsung memeluk anaknya dengan tangis bahagia. Gw jadi terharu liatnya. Ada beberapa kalimat yg gw ingat diucapkan nyokapnya, sebenernya dalam bahasa Jawa, tapi karena keterbatasan ingatan gw dengan bahasa yg satu ini, gw tulis dalam bahasa Indonesia deh. Kurang lebih seperti ini yg diucapkan nyokapnya ke Indra.

"Ibu sayang kamu Nak. Ibu bahagia sekali liat kamu hari ini," katanya sambil tak hentinya mengucurkan airmata. Suasana hening ketika ini berlangsung. "Kalau saja ayahmu masih ada, dia pasti akan sangat bangga liat anaknya sudah jadi 'orang' seperti ini!"

"Iya Bu. Indra juga sayang Ibu dan semuanya.." Indra ikut menangis haru.

"Jadilah suami yg baik buat istrimu dan ayah yg teladan buat anak-anakmu kelak. Hari ini Ibu lepas kamu. Mulai saat ini kamu bukan tanggungan Ibu lagi, karena kamu sekarang adalah imam untuk keluargamu."

Hening dan khidmat. Itu yg gw rasakan. Kalimat yg diucapkan begitu meresap di hati gw. Jadi kangen juga sama nyokap di kampung.

"Nak, inget pesen Ibu akan satu hal : bimbing keluargamu untuk selalu melaksanakan sholat lima waktu. Kamu juga jangan lupa sholat malam..." lalu dikecupnya kening Indra.

Dan setelah diakhiri dengan doa bersama sebelum berangkat, Indra melangkahkan kaki kanannya melewati pintu simbol bahwa kebaikan akan selalu menyertai langkah nya kelak.....

Perjalanan menuju rumah mempelai wanita terasa lama karena empat mobil yg berangkat berjalan pelan berderet ke belakang. Gw ada di mobil paling depan bareng Indra dan nyokapnya. Dua mobil di belakang membawa seserahan lamaran dan satu lagi untuk family yg ikut hadir. Ada juga beberapa yg pake motor, rekan kerja dari perusahaan Indra. Sampe saat itu gw belum ketemu Meva. Kayaknya dia di salahsatu mobil yg bawa seserahan. Nggak lucu kan kalo dia ketinggalan di rumah Indra? Haha..

Selama perjalanan Indra tampak tenang didampingi nyokapnya. Beda sewaktu pagi tadi. Mobil rombongan berhenti di pinggir jalan. Indra keluar dari mobil, tentu saja gw mendampinginya. Di sisi kiri Indra adalah nyokapnya. Kami dan rombongan berjalan perlahan masuk ke gang ditemani suara petasan yg memekakan telinga. Di kanan kiri kami banyak penduduk setempat yg memandang kami penuh minat. Sementara rumah Dea berada sekitar seratus meter dari gang. Berdampingan sama pengantin dengan dipayungi sebuah payung besar khas kekeratonan, entah kenapa justru sekarang gw yg nervous!

Suasana di tempat hajat sudah begitu ramai. Pengantin ceweknya pasti lagi nunggu di dalem rumah. Agak jauh dari rumah hajat, berdiri berbaris beberapa orang menunggu rombongan. Kami berhenti dan berdiri berhadapan dengan mereka. Salahsatu dari mereka yg membawa mikrofon, yg belakangan gw tau adalah bokapnya Dea a.k.a mertuanya Indra, mengucapkan penyambutan. Selesai itu giliran nyokapnya Indra menjawab sambutan tadi. Lalu kami dibimbing bokapnya Dea menuju sebuah musholla yg akan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral dari acara ini, sementara rombongan seserahan lanjut menuju rumah mempelai.

"Ri, doain gw..." bisik Indra begitu kami duduk berhadapan dengan penghulu di dalam musholla.

"Pasti," gw menepuk bahunya. "Jangan gugup."

Indra mengangguk setuju. Bersama puluhan orang yg ikut hadir di dalam tempat suci ini, kami semua melakukan doa bersama sebelum prosesi akad. Pamannya Indra ditunjuk sebagai wali menggantikan bokapnya. Gw sendiri nggak hentinya deg-degan nunggu detik-detik akad nya.

Indra dengan mantap menjabat tangan penghulu dan menjawab lantang pernyataan sang penghulu. Sontak semua berseru "sah!" waktu pak penghulu kemudian memastikan keabsahan ijab qobul tadi.

Indra menarik napas lega lalu memeluk gw bahagia.

"Selamat Dul," kata gw. "Gw ikut bahagia."

"Thanks Ri. Thanks!"

Dan lalu kembali terdengar suara petasan meledak, disusul tetabuhan semacem rebana kalo gak salah. Iringan pengantin wanita nampak berjalan mendekat ke tempat kami. Indra, gw dan pamannya berjalan keluar dan berdiri di tempat kami menunggu kedatangan "penjemput".

Dan tibalah mereka... Dea yg sekarang sudah sah sebagai istrinya Indra muncul didampingi mamahnya, dan.....Meva! Itu dia! Pake kebaya putih dan rambut disanggul, dia keliatan beda banget. Ini pertama kalinya gw liat dia pake kebaya. Wouw..wouw..wouw! Hahaha.

Keliatan banget sebenernya Meva nggak nyaman dengan keberadaannya di dalam sini. Pamannya Indra berhadapan dengan nyokapnya Dea, Indra berhadapan langsung dengan Dea, dan gw ketemunya Meva tentu saja. Dia tampak malu-malu. Pipinya bersemu merah. Kali ini Meva lebih banyak menunduk dan sesekali memandang Indra dan Dea, seperti enggan melihat gw.

"Penjemputan" sendiri diisi dengan pernyataan dari kedua mempelai yg sama-sama mengikrarkan janji setia sehidup semati. Wuiih so sweet banget! Lalu keduanya berjalan berdampingan menuju pelaminan di rumahnya. Dan dengan begitu selesailah tugas gw. Meva juga.

Suasana di luar sudah ramai disesaki warga yg berderet menepi, ingin ikut menyaksikan momen-momen berharga ini. Begitu keluar, gw menarik Meva agak menjauh dari rombongan.

"Mau ke mana Ri??" tanyanya kaget.

Gw berhenti di tempat yg memberi kami sedikit ruang bebas.

"Kita ke dalem lagi yuk?" kata gw.

"Mau ngapain???"

"Mumpung penghulunya masih ada tuh, kita married yuk? Giliran kita tuh. Lumayan lah gratisan, jadi nggak perlu bayar lagi. Kan udah dibayar sama Indra," canda gw.

"Hah?" Meva terkejut. "Nggak modal banget loe pake penghulu bekas orang!" dia melepaskan tangannya dari genggaman gw lalu menempeleng gw pelan.

Gw tertawa lebar liat ekspresi wajah Meva.

"Yah lumayanan lah!" kata gw.

"Ogah!" lalu Meva berjalan kembali ke dalam rombongan.

Gw segera menyusulnya dan berjalan di sampingnya.

"Jadi lo nggak mau nih gw ajak married?" goda gw lagi.

"Lo punya apa? Berani-beraninya ngajak gw married," jawab Meva dengan nada yg dibuat-buat.

"Gw punya cintaaa...." sumpah gw lagi niat banget tuh godain Meva.

Meva mencibir.

"Makan tuh 'cinta'.! Cari duit dulu yg banyak baru ngelamar gw!" dan kami pun tertawa, nggak peduli dengan tatapan orang-orang di dekat kami yg keheranan.

Setelah menyantap hidangan dan berfoto bareng kedua mempelai, gw dan Meva duduk di meja pager ayu. Kami memutuskan hari ini ganti profesi jadi penyambut tamu. Padahal pager ayu yg aslinya udah ada empat tuh. Well, acaranya meriah banget. Gw dan Meva pamit pulang menjelang malam.......

Gw diam sejenak dan mencoba sedikit berfikir tentang semua yg udah gw lewati di hidup gw. Gw cuma mau review, seandainya saat lahir dulu gw ada di angka nol..maka sekarang ini gw nyampe di angka berapa yak? Oke, anggap saja finishnya adalah angka 100. Apa gw sekarang sudah mendekati itu? Limapuluh? Tujuhpuluh? Atau bahkan cuma beberapa angka dari nol?

Rasanya waktu terlalu cepet berlalu tanpa gw bisa banyak berbuat untuk hidup gw sendiri. Gw udah nyampe di usia 23 tapi belum banyak perubahan yg gw rasakan. Semuanya masih sama seperti baru lulus SMA. Dibandingkan dengan Indra yg nyaris sudah mendapat semuanya, jelas gw nggak ada apa-apanya. Rumah, istri, dan segala tetek bengeknya, gw masih jauh dari itu.

Tapi toh kalau gw cuma memikirkan soal materi, semua nggak akan ada habisnya. Gw akan selalu merasa kekurangan, gw yakin lah. Bener kata Indra, masa depan gw adalah misteri. Dan yg bisa gw lakukan cuma ngejalanin yg ada sambil menunggu ke mana misteri ini akan berujung.

Gw embuskan asap putih dari mulut gw ketika terdengar langkah kaki menapaki tangga. Pasti Meva baru balik dari kampus.

"Hayy Ri.." panggilnya dengan nada khas nya.

Bener kan itu Meva. Ah, bahkan cuma mendengar irama langkah kakinya gw hafal itu dia! Hebat banget ya gw??

"Tumben baru balik jam segini?" sahut gw tanpa mengalihkan pandangan dari sawah yg nampak indah tertimpa sinar senja di depan gw.

"Ada tugas banyak banget," Meva berdiri di sebelah gw dan menggeliatkan badannya. Dan wangi parfumnya langsung menyeruak ke hidung gw.

"Eh, loe ngerokok??" kata Meva lagi kaget.

Gw menatap batang rokok yg terhimpit diantara telunjuk dan jari tengah gw. Hebat banget yak dia bisa tau kalo ini rokok?? (dengan nada menyindir)

"Enggak kok. Ini kan singkong?" jawab gw santai.

"Mana ada singkong ngeluarin asap kayak gitu!??"

"Ini singkong ajaib."

"Bukan, itu rokok Ri. Bego amat gw kalo nggak bisa bedain mana rokok mana singkong?"

"Yeeeeey kan udah gw bilang ini singkong ajaib?" gw bertahan dengan argumen gw. "Orang lain akan ngeliat singkong ini adalah rokok, padahal ini cuma singkong goreng kok."

Meva menatap lekat-lekat rokok di jari tangan gw. Dia seperti ingin meyakinkan dirinya kalo ini memang singkong goreng!

"Ini rokok ah!" akhirnya Meva sampai pada kesimpulan akhirnya.

"Emang ini rokok, siapa yg bilang ini singkong goreng?"

Meva mendengus kesal. Direbutnya rokok dari tangan gw dan langsung dilempar ke bawah.

"Sejak kapan loe ngerokok? Setau gw loe nggak pernah ngerokok," cecarnya.

"Itu batang rokok pertama gw. Baru juga sekali isep, kok dibuang sih?" protes gw.

"Gw nggak suka liat loe ngerokok!"

"Ya udah gw ngerokok dalem kamer aja biar lo nggak liat.."

"Rokok itu nggak baik buat kesehatan tau!"

Gw tertawa pelan. Sial banget gw, baru pertama nyoba ngerokok eh malah dibuang rokoknya.

"Masa lo nggak tau sih riset yg dilakukan seorang profesor Jepang tentang rokok?" ujar gw. "Gw baca di majalah, katanya rokok bisa mencegah rambut seseorang beruban lho!"

"Jelas aja perokok nggak punya uban, mereka kan mati sebelum sempat ubanan??"

Gw tertawa lebar. Ah, udahlah. Gw juga kayaknya nggak bakat jadi perokok.

"Loe tau? Dalam satu batang rokok, ada jutaan racun mematikan yg bisa bikin lo mati kapanpun." Meva mulai berceramah.

"Oke oke. Sorry, tadi gw cuma coba-coba kok.."

"Nyoba tuh hal baik kek, jangan nyoba yg nggak bener lah."

"Iya, ibu guru..."

Meva mencibir.

"Tapi kok ibu guru perhatian banget sih sama saya, sampe segitunya? Hohoho.."

"Bukan apa-apa. Gw males aja kalo nanti gw harus jadi saksi di pengadilan, seandainya lo mati keracunan rokok di kamer lo."

"Yah gw pikir saking baiknya lo, ternyata..." gw mendesah kecewa.

Meva terkikih pelan.

"Udahlah nggak ada gunanya ngerokok. Sayang duit lo. Mending kumpulin aja tuh duit buat modal kimpoi," kata Meva masih menasehati gw.

"Emang gw mesti punya berapa duit sih buat ngelamar loe Va?" iseng gw tanyain itu. Haha.

Meva tampak terkejut. Setelah berfikir beberapa detik dia menjawab.

"Emmh..gw punya syarat buat lo kalo mau jadi laki gw."

"Apa tuh?"

"Lo harus buatin gw mall di atas Bendungan Walahar. Terus, buatin gw perahu yg gede biar gw gampang kalo mau ke mall. Dan semua itu harus dikerjakan dalam satu malam sebelum fajar tiba!" katanya.

"Wah kalo gitu gw nyerah deh...entar ujung-ujungnya gw dikerjain pake suara ayam," kami pun tertawa.

"Eh Ri, hari Sabtu besok lo lembur nggak?" tanya Meva.

Gw menggeleng.

"Emang napa?" gw balik tanya.

"Ikut gw yuk ke Jakarta."

"Mau ngapain emangnya?"

"Duit gw udah mau abis. Udah waktunya gw dapet suntikan dana. Yah sekalian gw kenalin lo ke nyokap gw.."

"Masa? Apa ini ada hubungannya sama lamaran?? Wah gw nggak nyangka secepet ini.!" canda gw.

"GR amat lo!" Meva menempeleng gw pelan. "Baru dikenalin aja udah ngehayal jauh."

Gw nyengir bego. Pasti muka gw keliatan aneh dah.

"Ya udah ntar kita omongin lagi deh. Gw capek nih mau mandi dulu," Meva berjalan menuju kamarnya lalu klik...dan pintunya tertutup rapat.





Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
Share This :

Artikel terkait : Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 12

Posting Lebih Baru Posting Lama

0 komentar: