Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 24
Lambat laun kehidupan gw kembali normal. Gw mulai bekerja kembali di minggu keempat sejak gw opname. Meva pun sudah mulai sangat disibukkan skripsi dan tugas akhir menjelang wisuda. Kami jadi semakin jarang bertemu dengan kesibukan yg kami jalani. Meva sering pulang malam. Sementara gw karena memang masih dalam masa penyembuhan, gw butuh lebih banyak waktu istirahat. Gw jadi sering tidur di bawah jam sembilan, suatu hal yg dulunya sangat jarang gw lakukan. Tapi meskipun sibuk, Meva masih menunjukkan perhatiannya ke gw. Hampir tiap pagi dia bangunin gw begitu masuk waktu Subuh, dan selesai sholat biasanya selalu ada secangkir teh hangat dan nasi bungkus yg dibeli Meva buat gw. Meva menyempatkan menemani gw sarapan dan ngobrol-ngobrol ringan sebelum berangkat kerja. Setelah itu biasanya dia tidur lagi dan menjelang siang berangkat kuliah. Praktis waktu buat gw ketemu Meva cuma di pagi hari. Tapi gw maklum dan kadang-kadang gw bantu dia sebisanya. Dari situlah gw semakin bisa menempatkan Meva sebagai sosok wanita hebat yg tentu saja, punya tempat tersendiri di hati gw.
Dan Lisa, dia pun semakin disibukkan kegiatannya menjelang keberangkatan ke Jepang. Gw dan Lisa sudah hampir lost contact setelah gw keluar dari Rumah Sakit. Tapi gw masih bisa ngerasain kok, perhatian Lisa nggak pernah berubah sedikitpun meski kami jarang berhubungan langsung.
.....
Awal Juni 2004. Beberapa hari sebelum keberangkatan Lisa ke negeri matahari terbit.
Sudah sejak lama Lisa minta gw nganter dia ke bandara. Setelah mendapat ijin dari sachou, gw rencananya ikut dalam rombongan yg berangkat ke Jakarta pertengahan bulan nanti.
Gw lagi nyari baju mana yg seharusnya gw pake pas hari H, ketika gw menemukan sesuatu di sudut lemari baju gw. Sebuah papan catur kecil dari bahan plastik bermagnet.
Sejenak gw terdiam mengamati papan catur di tangan. Ingatan gw menari-nari dalam kepala. Dan momen-momen itu pun seperti terulang lagi, diputar dalam sebuah tape usang. Momen bersejarah yg penuh kenangan, ketika gw baru kenal yg namanya Mevally, si cewek aneh yg punya kebiasaan aneh. Gw senyum-senyum sendiri.
Lama gw pandangi deret kotak hitam putih itu. Entah apa yg merasuki otak, perhatian gw sudah teralih sepenuhnya ke papan catur ini. Gw duduk dan gw letakkan di lantai lalu gw susun pion-pion sesuai pos nya. Diam-diam gw tersenyum dan berharap Meva ada di hadapan gw, mendorong maju bidak di depan raja dan di depan kuda, langkah awal favoritnya tiap maen catur bareng gw. Tapi begitu nengok keluar dan mendapati lampu kamarnya mati, tanda bahwa yg punya kamar belum balik, khayalan itu menguap. Gw lalu teringat sebuah 'filosofi catur' yg pernah membuat Meva sangat termotivasi. Sebuah filosofi dadakan yg sebenernya cuma ocehan gw aja saking stres nya gw karena kalah terus. Hahaha.
Tapi harus gw akui, filosofi itu secara nggak langsung juga memotivasi gw sendiri. Biar bagaimanapun gw yakin semua orang ingin mendapatkan yg terbaik dalam hidupnya. Dan Meva, gw yakin sepenuh hati, suatu hari nanti dia akan jadi orang yg hebat dan disegani. Gw yakin akan ada saatnya nanti dia dipandang utuh sebagai dirinya dan bukan hanya dari masa lalunya yg kelam. Sepenuhnya gw percaya, Meva mampu melewati kotak demi kotak nya untuk sampai di kotak terakhir dan ber metamorfosa menjadi 'menteri'.
Gw masih duduk melamun dengan papan catur di hadapan gw. Gw tarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan.
Hmm kalau saja nggak ada papan catur ini, mungkin gw nggak akan pernah sedekat ini dengan Meva. Dan soal filosofi itu, biarlah tiap orang menerimanya sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Karena hari ini, besok, atau lusa, akan ada bidak yg berubah jadi menteri. Tinggal bagaimana dan sekuat apa bidak itu melewati kotak-kotaknya.
tiba saat mengerti
jerit suara hati
yg letih meski mencoba melabuhkan
rasa yg ada
mohon tinggal sejenak,
lupakanlah waktu..
temani airmataku..
teteskan lara..
merajut asa..
menjalin mimpi..
endapkan sepi-sepi.....
Gw pulang sangat larut dari mengantar Lisa ke Jakarta ketika sayup-sayup terdengar lagu dari kamar Raja di lantai dua. Sejenak terpikir buat mampir ke kamarnya, tapi gw urungkan niat gw. Raja pasti baru balik kerja dan gw terlalu lelah buat ngobrol-ngobrol. Gw pengen buru-buru tidur. Besok hari Sabtu, jadi gw bisa 'balas dendam' sepuasnya.
Gw naiki tangga tanpa suara sedikitpun. Semua penghuni kosan pasti sudah terlelap jam segini. Maka gw cukup terkejut saat menemukan Meva sedang duduk memeluk lutut di atas tembok beranda, asyik menatap langit sambil mendengarkan lagu dari headphone di discman nya.
Gw hampiri dia yg rupanya nggak menyadari kedatangan gw.
"Hay Va," gw menyapanya. "Kok belum tidur?"
"......."
Meva terlalu asyik dengan lagu di telinganya. Mulutnya bergerak pelan tanpa suara mengikuti lagu yg didengarnya.
"Woyy," gw tarik lepas headphone dari telinganya.
"Eh gw kirain siapa!" Meva terkejut melihat gw. Dia turun dan berdiri di sebelah gw. Tersenyum dengan manisnya sambil melipat tangan di depan dada. Gw liat arloji gw menunjukkan pukul setengah satu pagi.
"Lo belum tidur jam segini?" tanya gw.
"Menurut lo, gw tidur belum?" dia menaikkan kedua alisnya.
"Maksud gw, kenapa jam segini lo belum tidur?" pandangan gw menyapu seluruh kamar di hadapan gw. Semua penghuni benar-benar sudah tidur, yg terdengar cuma suara jangkrik dan sayup-sayup musik dari kamar Raja.
"Gw belum ngantuk," jawab Meva sambil menggeliatkan badan dan menguap lebar.
"......."
"Lagian gw juga mau sedikit bernostalgia di sini," dia balikkan badan memandang sawah di belakangnya. "Udah lamaaa banget kayaknya gw nggak nongkrong di sini lagi. Gw kangen sama bau embun pagi yg menyegarkan kayak gini. Gw kangen liat padi-padi melambai ditiup angin. Ah, gw kangen masa-masa gw belum sesibuk ini!"
"Oh..." gw tarik kursi dari depan kamar dan duduk di samping menghadap Meva. "Tadi lo balik kuliah jam berapa?"
"Baru dua jam yg lalu," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Wah sibuk banget ya dirimu, lebih sibuk dari wanita karir malah," canda gw.
Meva tertawa pelan.
"Capek tau. Kalo bisa nggak sibuk mah gw juga nggak mau sibuk kayak gini," lanjutnya.
"Yah ini kan demi masa depan lo sendiri.."
Meva tersenyum. Kali ini dia menatap gw dengan manis.
"Semoga yg gw lakukan sekarang ini ada artinya yaa..." ujar Meva.
"Pasti dong," gw mengamini.
"Huuh nggak kerasa tinggal dua bulan lagi gw di sini. Kayaknya baru kemaren deh gw dateng ke kosan ini, minta kamer yg di bawah, malah dikasih yg di atas sini," sejenak Meva menatap pintu kamarnya lalu kembali menatap langit. "Makanya dulu gw sampe ngekos di dua tempat. Awalnya gw nggak begitu suka tempat ini. Sebelum ketemu loe..." dia melirik gw dan mengedipkan mata kirinya.
Gw tertawa pelan menutupi grogi nya gw. Kalau saat itu ada kaca gw yakin gw bisa liat wajah gw merah banget.
"Hadeh...gw inget banget, dulu awal kenal elo, gw ngerasa lo itu nyusahin banget! Banyak maunya!" gw tertawa lagi sementara Meva cemberut malu.
"Lo juga ah," sergahnya. "Suka nggak mau nepatin janji. Kudu dipaksa dulu biar mau."
"Eh siapa juga yg janji? Ada juga kan elo yg bikin deal sepihak!"
"Tapi kan elo nya nggak nolak?? Jadi yaudah gw anggep lo setuju!"
"Tuh kan masih aja kayak gitu..."
"Hahaha! Tapi gw ngangenin kan? Hayo ngaku aja...waktu gw nggak ke sini setengah tahun, lo kangen gw kan! Waktu nungguin lo di rumah sakit si Gundul cerita ke gw tuh! Katanya lo sampe mau mewek gitu! Hayo ngaku.....??" Meva menjulurkan lidahnya.
"Waduh kebangetan tuh si Gundul buka kartu gw!"
Meva tertawa puas. Ah, shit! Gw nggak bisa berkilah lagi kalo udah terpojok kayak gini. Pengen rasanya bilang kalo semua itu bohong, tapi sebagian dari diri gw justru bahagia Meva tahu hal ini.
"Ya ya ya gw emang kangen kok," gw mencoba beralibi. "Tapi cuma sedikit. Sedikiiiiiit banget!"
"Bodo amat! Tetep aja namanya kangen!" Meva melet lagi. [Duh, ngegemesin^^]
Gw senyum-senyum sendiri. Lelah gw mendadak hilang berkat obrolan pagi ini.
"Eh kira-kira setelah gw wisuda nanti, kita masih bisa kayak gini enggak yaa?" tanya Meva tiba-tiba.
Mendadak hati gw mencelos. Gw seperti baru sadar, tinggal kurang dari dua bulan lagi Meva wisuda. Setelah itu, yah gw belum bisa membayangkannya.
"Gw masih pengen nikmatin masa-masa bebas kayak gini," Meva merentangkan kedua tangannya. Dihirupnya nafas dalam-dalam. "Ah, seandainya gw bisa menghentikan waktu!"
"......."
Kami lalu terdiam. Meva menurunkan tangannya.
"Eh Ri gw mau mastiin, wisuda gw nanti lo bisa hadir kan?" katanya.
"Pasti," gw sedikit terenyuh menjawabnya.
"Makasih banyak yak!" Meva menepuk pipi gw pelan dan berlalu ke kamarnya.
Tinggal gw, dan sayup-sayup alunan lagu dari kamar Raja di keheningan malam.
cinta kan membawamu kembali.....
Gw buka kedua mata gw. Dengan nafas sedikit terengah gw gapai gelas di kiri gw dan menuang air ke dalamnya. Tenggorokan gw langsung terasa dingin begitu air mengalir masuk ke dalam tubuh. Selama beberapa saat gw duduk terdiam dalam kamar yg gelap. Gw bangun lalu membuka pintu kamar, dan hembusan angin malam yg sejuk langsung menerpa wajah dan tubuh gw. Gw berjalan menuju beranda. Jantung gw berdetak cukup kencang.
Gw butuh sesuatu untuk menenangkan hati gw. Gw kembali ke kamar, menyulut sebatang rokok, kemudian kembali lagi ke beranda. Ah, selalu menyenangkan rasanya berdiri dari sudut ini dan memandang bulan sabit di atas sana. Ditemani angin malam yg mengembus sejuk, gw berdiri diam beberapa menit.
Kenapa?
Lagi-lagi mimpi itu...
Kenapa setiap gw tidur selalu memimpikan mimpi yg sama? Sudah hampir seminggu ini, kejadiannya selalu sama. Ini bukan yg pertama kalinya gw terjaga di tengah malam dan kemudian berdiri sambil merokok di beranda. Sejak empat malam sebelum ini, malam ini adalah malam ke lima, gw selalu melakukan beberapa hal yg sama meski waktunya relatif berbeda. Kalau sudah terjaga seperti ini, sulit buat gw kembali tidur. Biasanya gw akan menghabiskan pagi di beranda dan masuk ke kamar begitu adzan subuh terdengar. Begitulah yg terjadi selama seminggu ini.
"......." gw usapi airmata yg hampir mengering di pipi gw. Gw nggak sadar gw terjaga dengan airmata yg terasa basah di ujung mata. Kali ini gw menangis dalam mimpi gw...
Jam setengah dua pagi, setengah jam lebih cepat dari waktu kemarin gw terjaga. Rokok di tangan gw semakin pendek, tapi gw belum mau membuangnya. Gw masih ingin menikmati racun yg entah kenapa hampir selalu bisa menenangkan gw. Praktis selama seminggu ini gw seperti jadi seorang pecandu rokok lagi. Padahal kebiasaan ini sudah benar-benar gw tinggalkan sejak keluar dari Rumah Sakit.
Apinya semakin mendekati ujung. Gw menyerah dan akhirnya gw lempar puntung rokoknya sejauh gw bisa melempar. Gw lalu terdiam lagi.
Kenapa? Kenapa mimpi itu selalu hadir di tidur gw?
"......."
Gw terduduk lemas di kursi di bawah jendela kamar. Mata gw menghadap lurus pintu kamar Meva.
"Apa arti mimpi itu?" gw bertanya dalam hati.
Gw gelengkan kepala, menolak argumen yg sempat melintas di benak gw. Nggak. Mimpi hanya bunganya tidur.
"......."
Gw sudah jauh lebih tenang sekarang dan bisa berfikir jernih. Tanpa sadar gw berjalan menuju pintu kamar Meva, memutar handle nya, dan tersenyum kecil begitu mendapati pintunya nggak dikunci. Meva ada di dalam sana. Sedang menikmati mimpinya. Terpejam sambil memeluk sebuah guling hijau. Wajahnya tampak damai sekali.
Gw berjalan masuk dan duduk di sampingnya. Ah, wajahnya terlihat polos dan meneduhkan.
Lagi-lagi bayangan mimpi itu berkelebat di kepala gw. Buru-buru gw buang jauh-jauh.
Setelah beberapa kali menghela nafas gw tersenyum. Nggak mungkin. Mimpi itu nggak mungkin terjadi. Itu mimpi yg aneh, dan nggak akan pernah terjadi di kehidupan nyata.
Gw menggeleng sendiri.
Tanpa sengaja gw melihat kalender di atas rak buku. Kalender ini sudah hampir penuh coretan di tiap angkanya dan hanya menyisakan beberapa lagi.
Juli hampir habis. Itu artinya tinggal tersisa sekitar tiga minggu lagi sebelum hari wisuda Meva. Hati gw mencelos menyadari hal ini.
Gw cuma terdiam. Dalam hati gw memaki ketidakberanian gw selama ini. Gw cuma seorang pecundang. Gw nggak pernah mampu mengungkapkan isi hati gw ke Meva. Bahkan di hari-hari terakhirnya di sini, gw belum punya cukup keberanian menyatakannya. Bodoh sekali gw.....
Tapi gw bukan pecundang! Gw cuma takut...
Gw terlalu takut kehilangan Meva. Gw nggak mau pengakuan gw nantinya malah merusak apa yg sudah ada selama ini.
"Lalu apa bedanya dengan pecundang??" sebagian dari diri gw kembali memaki diri gw sendiri.
"......."
Gw sayang elo Va. Karena itu gw nggak mengungkapkan perasaan gw ke lo, karna gw yakin lo pun bisa merasakan itu. Lo selalu bisa lebih tau bahkan dari diri gw sendiri.
"......."
Gw inget beberapa hari yg lalu Meva pulang dengan sangat gembira. Bahkan dia sempat berteriak saking bahagianya. Dia menceritakan tentang sidang nya yg berjalan mulus, dan dia juga cerita banyak tentang bahagianya dia setelah berhasil menamatkan study yg sempat terkatung-katung.
Oh God, sampai sekarang gw nggak pernah melupakan hari itu. Hari dimana Meva dengan bahagianya tertawa lepas. Momen itu terekam dengan baik di kepala gw.
Huuffft......Sekali lagi gw pandangi Meva. Gw singkirkan rambut yg menutupi wajahnya. Ahh, tak pernah bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahagianya gw menatap wajahnya. Gw usapi rambutnya pelan, lalu gw kecup keningnya.
Sebagian diri gw berontak dan menyalahkan ini, tapi sebagian lainnya menangis. Dan sebelum perasaan gw semakin nggak karuan, gw kembali ke kamar gw. Bersembunyi di balik selimut, ketika sebuah pesan singkat masuk ke handphone gw.
-dasar kebo...gw belum tidur tau^^-
Gw tersenyum kemudian mencoba pejamkan mata sambil berharap mimpi kali ini akan indah...............
Next Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 25
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
0 komentar: