Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 2


Gue tapaki anak tangga menuju kamar. tiba di anak tangga terakhir mata gue terpaku pada sosok wanita yg duduk di beranda sambil memandang kosong ke depan seperti biasanya. malam sudah larut saat gw balik mengantar Echi, dan wanita itu seolah tidak peduli dengan dingin angin ataupun gigitan nyamuk di lengannya. dia benar-benar seperti patung.

gue masuk ke kamar dan menutup pintu tanpa menyapa wanita berkaos kaki hitam itu. lalu gue mulai berguling di atas kasur mencoba mencari posisi yg pas untuk segera tidur. lima menit...sepuluh...duapuluh....sampai setengah jam, mata gue enggan terpejam.



gue duduk. memandang hampa atap kamar lalu memutuskan keluar untuk sekedar menghirup udara segar. dan wanita itu masih di tempatnya. sama persis posisi duduknya seperti yg terakhir gw lihat.

"nih," gue menyodorkan lotion anti nyamuk kepadanya. ada lebih dari lima ekor nyamuk yg sedang asyik menyedot darah di lengan kirinya.

"..............."

wanita itu diam. bola matanya bahkan nggak bergeser satu milimeter pun dari tempatnya.

"ya udah gue aja yg pake," kata gue, lebih tepatnya pada diri sendiri. semenit kemudian kulit gue sudah terlindung dari nyamuk.

gue pandangi wajah wanita itu, lalu mencoba mengikuti arah pandangan matanya. hanya menatap deretan lampu-lampu di kejauhan sana.

"ngeliatin apa sih mbak?" tanya gue.

sunyi.......

"lagi sariawan ya?" kata gue lagi.

tetap sunyi..........

"mau kopi?"

masih sunyi...............

"udaranya dingin banget yah?"

"sendal jepit gue putus."

"tadi di jalan tukang nasi gorengnya brewokan."

aaaahhh.....mulut gue nyaris berbusa mencoba berbicara pada wanita itu tapi tetap nggak ada jawaban satu huruf pun dari mulutnya.

gue mulai kesal. gue masuk kamar, mengambil gitar dan kembali ke beranda lalu duduk di tepian tembok. tanpa memedulikan orang di sebelah gue mulai bernyanyi. ada lagu yg liriknya tepat sekali untuk menyindir wanita ini. sebuah lagu yg waktu itu lagi in banget. dengan sedikit serak tapi banyak fals nya gue coba menyanyikan 'Pelangi di Matamu' milik Jamrud.

"tigapuluh menit kita di sini tanpa suara..."

gue yakin lirik awal lagu ini ngena banget. itu kalau dia mendengarkan.

"dan aku resah...harus menunggu lama...kata darimu......"

gue terdiam. suaranya terdengar dalam. ya, wanita di samping gue tanpa gue duga melanjutkan liriknya. kedua mata gue melongo menatap wajahnya. dia samasekali nggak bergerak dari tempatnya duduk, hanya bibirnya yg tipis terbuka perlahan melantunkan lirik lagu.

gue speechless. jari-jari gue mendadak kaku untuk memetik senar di tangan gue. tapi wanita itu tetap bernyanyi meski tanpa iringan gitar dari gue.

setelah bisa menguasai diri lagi gue kembali memetik gitar membiarkan dia yg bernyanyi. memang ada beberapa kata dalam liriknya yg salah tapi over all ini adalah lagu yg indah dinyanyikan di malam hari bareng seorang wanita.

tepat saat lagu selesai wanita itu turun dari duduknya, tanpa memandang gue, lalu beranjak ke kamarnya. lampu dimatikan. dan hanya hening yg tersisa sekarang.

sampai detik ini gue masih belum yakin kalau yg tadi itu benar-benar terjadi. mimpi apa gue denger dia nyanyi sementara untuk bicara pun dia pelit.

"woy..belom tidur lo?" Indra tiba-tiba muncul dan membuyarkan lamunan gue.

"eh, tadi dia di sini lho. di sebelah gue. kita nyanyi bareng malah, lagunya Jamrud itu lho! yg jam dinding nya bisa ketawa," gue mencecar Indra dengan antusias yg agak berlebih.

Indra geleng kepala sambil elus-elus dadanya.

"gue juga sebenernya pengen ketawa," katanya sambil berjalan mendekati gue. "awalnya gue pikir lo becanda waktu bilang ketemu cewek itu, tapi kayaknya lo beneran deh."

"kan gu..."

"beneran gila lo!" sela Indra. "mana? mana cewek itu sekarang? gue jadi prihatin sama lo. besok kita ke psikiater deh, kalo nggak dukun aja buat periksain otak lo yg mulai jereng itu."

"gue serius, Dul."

"serius gila nya? hahaha..."

gue tarik napas panjang. lagi-lagi percuma untuk mendebat Indra.

"udah deh jangan bahas itu. gimana tadi sama Echi nya?" tanya Indra mengalihkan topik.

"engga gimana-gimana kok. biasa aja."

"biasa kayak gimana maksud lo?"

"setau gue yg namanya 'biasa aja' ya nggak gimana-gimana deh."

"itu kata elo. kalo kata gue, kayaknya lo suka deh sama dia. iya kan?"

"ah, ngasal aja lo."

"alaah...sama gue aja pake rahasia-rahasiaan." Indra menyalakan rokoknya. "terus gimana kelanjutannya?"

"tau deh, ketemu aja nggak tau kapan."

"makanya beli HP doong biar bisa SMS an. canggihan dikit napa? nih kayak gue," Indra mengeluarkan Nokia 3315 nya. (jaman segitu ni HP masih tergolong kelas atas cuy! gue aja belom punya HP saat itu)

"tuh liat bisa bikin gambar sendiri. canggih kan??" lanjut Indra menunjukkan layar monochrome kuning bergambar sebuah logo nama dirinya. saat itulah ada panggilan masuk. Indra segera ke kamarnya.

tinggal gue sendirian lagi. cukup lama gue termangu menatap pintu kamar itu. dan akhirnya gw habiskan malam dengan menyanyikan lagi lagu itu berkali-kali.

harusnya minggu pagi yg mendung itu gue habiskan dengan meringkuk di bawah selimut sampai siang karena semalaman tadi gue begadang di kamar Indra main Play Station sampai jam empat pagi. selepas subuh gue baru bisa terlelap. tapi suara ketukan di pintu sangat mengusik kenyamanan gue pagi itu. awalnya gue abaikan, tapi makin diabaikan suaranya malah semakin keras.

"iya bentar!" gue menggerutu dengan kesal lalu keluar dari balik selimut ke arah pintu.

"hay Ri..." gue mendapati Echi tersenyum lebar ke gue. "baru bangun ya?"

"eh, kamu Chi." gue buru-buru mengusap wajah gue dengan sarung yg melingkar di pundak gue.

"tadi lagi tidur ya?" tanya Echi lagi.

"ya begitulah. hehe.." gue nyengir pait. gue yakin saat itu gue culun banget. muka kusut, rambut acak-acakan ditambah sisa-sisa iler yg mungkin masih menempel di pipi. (gak usah dibayangin ya! )

"masuk gih," gue mempersilakan Echi masuk sementara gue bergegas cuci muka di kamar mandi.

"gue ganggu tidur lo ya Ri?"

"enggak kok nyantai aja lah kayak di pantai," suara gue menggema di dalam kamar mandi kecil itu.

"lo nggak lembur?" tanya Echi lagi begitu gue keluar dari kamar mandi dan menyeka wajah dengan handuk.

"staff mana dapet lembur sih? paling yg lembur orang-orang di jalur produksi aja." gue duduk bersandar di dinding, seberang tempat Echi duduk. gue nyalakan sebatang Marlboro sambil sedikit merapikan sisiran rambut.

"tumben amat pagi-pagi gini lo ke sini? perasaan baru semalem kita ketemu deh?" asap dari mulut gue mulai memenuhi seantero kamar.

"gue beliin lo sarapan. nih," Echi menyodorkan bungkusan plastik hitam yg sejak tadi dipegangnya.

"apaan tuh?"

"cuma nasi uduk kok. kebetulan lewat depan gang masih ada yg jual. sok dimakan, nanti basi dulu."

"wah lo tau aja gue laper," gue meraih bungkusan itu. "sory yah ngerepotin."

"enggak papa kok, enggak ngerepotin juga."

"yaa gue basa-basi aja biar lo nggak kapok beliin sarapan buat gue. yg sering aja ya?"

"yeeeey.....enak aja. tekor dong gue?! hehehe."

"kok belinya cuma satu? lo udah sarapan?"

"tadi gue belinya memang pas udah mau abis. itu juga cuma ada segitunya kok."

"lo udah sarapan belum?"

Echi menggeleng.

"ya udah kita barengan aja," gue mengambil dua buah sendok dari rak kecil di samping dispenser.

"entar lo nya kurang nggak?" Echi menerima sendok dari gue dengan ragu.

"udah nyantai aja, kalo kurang entar gue beli lagi di gang sebelah ada yg jualan." gue terpaksa mematikan rokok gue dulu di asbak.

"yakin nih?" tanya Echi lagi.

"yaelaah masih nanya aja nih anak. udah ayo makan," gue mulai melahap sendokan pertama. awalnya ragu tapi kemudian Echi melakukan hal yg sama.

dan akhirnya kami sarapan sepiring berdua. hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan nasi di piring.

"thanks ya Chi," gue bersendawa kecil setelah minum.

gue duduk lagi di tempat gue tadi. menyulut kembali sebatang Marlboro sebagai "hidangan penutup" sarapan pagi itu. gue lirik jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat seperempat. berarti tadi gue tidur hanya sekitar tiga jam.

hufft......gue mengembuskan asap putih dari mulut gue, berharap rasa kantuk yg masih menggelayuti mata gue juga ikut pergi bersamanya.

"Indra lembur ya?" tanya Echi membuyarkan lamunan sekaligus membuat gue terjaga dari lelap yg sempat menghinggapi gue beberapa detik yg lalu.

"eh, enggak kok. semalaman gue begadang sama dia maen game. jam segini mah di masih asyik sama bantalnya."

"kalian begadang sampe pagi yah?"

gue mengangguk.

"wah berarti tadi gue beneran ganggu dong? lo pasti masih ngantuk ya, Ri?"

gue tersenyum.

"kurang lebih seperti itu," nggak ada gunanya basa-basi pura-pura nggak ngantuk.

"emh...ya udah deh lo lanjutin aja lagi tidurnya."

"nah terus elo nya?"

"gue jagain lo tidur deh," katanya tanpa nada terpaksa. "lo punya koleksi novel kan? lo tidur aja, gue mau baca novel deh."

"enggak bosen tuh? kalo nggak kuat dan mau balik, ya balik aja nggak usah ngerasa nggak enak sama gue."

"lo ngusir nih ceritanya?"

"hehehe.. enggak kok bukan gitu. ya udah tuh novelnya ambil aja," gue menunjuk tumpukan buku di atas lemari kecil di sudut kamar. "bentar gue abisin dulu rokoknya. tanggung nih."

beberapa saat kemudian Echi sudah larut dalam novel yg dibacanya. gue menikmati hisapan terakhir rokok gue, setelah itu beranjak ke kasur. rasanya nyaman sekali merebahkan tubuh ini.

"jangan lupa doa dulu," Echi mengingatkan.

"wah gue hafalnya doa makan nih."

Echi menepuk kaki gue. gue sudah memejamkan mata saat gue rasakan kehangatan mulai menyelimuti tubuh gue. gue membuka mata. Echi menutup tubuh gue dengan selimut.

"thanks Chi. lo baik banget yah?"

"udah tidur sana jangan banyak komentar." Echi duduk di samping kasur tepat di sebelah kepala gue. dia kembali asyik dengan novel yg dipegangnya.

ah, pagi yg dingin ini gue rasakan mendadak hangat. entah karena selimut ini atau karena sosok wanita di samping gue. yg jelas nggak butuh waktu lama buat gue masuk ke dunia mimpi.....

hari-hari gue kini sedikit banyak berbeda dengan sebelumnya. Echi hadir menjelma jadi pengisi kekosongan yg gue rasakan sebelumnya. kalau nggak Echi yg menginap di kamar gue, maka gue yg ngandong ke kosannya. kebetulan kami berdua sama-sama non shift jadi nggak ada istilah jam kerja malam.

layaknya pasangan lain yg tengah dimabuk asmara, gue dan Echi juga kerap memilih menghabiskan waktu berdua meski harus menolak jam lembur yg ditawarkan bos di kantor. gue pikir gaji tanpa lembur gue sudah lebih dari cukup. selain itu Echi adalah tipe cewek yg pengertian. nggak harus selalu cowok yg nraktir cewek, beberapa kali gue bahkan makan gratis dari dia.

soal Indra, awalnya dia heran karena gue sering nggak menampakkan diri di kosan. setelah gue beritahu kalo gue udah jadian sama Echi dia cuma tertawa lebar sambil tetap ngomong "jangan diapa-apain dulu!" yg gue jawab "udah terlanjur!"

jarang balik ke kosan, itu berarti gue juga jarang ketemu Indra. apalagi dia kan kena shift. makin jarang lah gue ketemu tuh anak. hari libur gue lebih suka menghabiskan waktu di kosan Echi atau sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota bareng dia. yah pokoknya asal bareng Echi semua berasa indah deh. hehe...

memasuki bulan keempat gue kerja, gue memutuskan membeli sebuah handphone untuk mempermudah komunikasi gue dengan teman-teman dan juga Echi tentunya. sebuah handphone mungil dengan layar monochrome warna biru gue ingat betul handphone pertama yg gue punya waktu itu. dengan fasilitas seadanya hp itu tergolong elit lho pada masanya.

perlahan tapi pasti gaya hidup gue yg dulu seadanya dan gue usahakan sesederhana mungkin, kini mulai berubah ke arah glamour dan foya-foya. sebagai jiwa muda yg masih berkobar waktu itu gue merasa sedang dalam momen terbaik di hidup gue. berpenghasilan lumayan plus punya pacar cantik dan setia membuat gue mabuk kepayang. beberapa kali bahkan gue mabuk beneran bareng Echi di kosannya.

sudah setengah tahun kini gue bekerja di Karawang. meski jarang ditempati, tapi gue memilih bertahan di kosan gue. selain gue juga malas mencari lagi kosan yg lain, ada Indra yg membuat gue memutuskan bertahan di sana. bagaimanapun Indra tetap sahabat terbaik gue di kota ini. dia yg pertama gue kenal dan dia juga yg kerap membantu saat gue sedang kesulitan alias bisa ngutang dulu gitu! hehehe.. tapi gue akui Indra memang orang baik kok. walau jarang bertemu kami tetap berteman baik.

dan hari itu genap sudah dua minggu berturut-turut gue nggak balik ke kosan. kangen juga pengen tidur di ruangan kecil itu. pengen maen gitar punya Indra lagi. maka sepulang kerja gue kirim pesan ke Echi bahwa gue nggak ke kosannya malam ini.

"wah tumben lo balik," Indra menyambut gue di gerbang bawah. "masih inget kamer lo ya??"

"iya gue kangen nih sama kamer gue. pengen maen gitar juga. lo ngapain di sini?"

"abis balikin setrikaan temen. punya gue mendadak eror soalnya."

kami berjalan menapaki tangga menuju lantai atas sambil berbincang ringan. rasanya seperti kembali ke rumah sendiri saat gue pandang berkeliling kamar-kamar di sini.

"wah elo kumat lagi nih ya," gue mengomentari volume kencang dari speaker aktif di kamar Indra.

"kan elo jarang balik? nggak ada yg protes lagi. lagian juga di sini sepi kalo lo nggak ada. kan lo tau gue nggak begitu interaktif sama tetangga kamer."

kami duduk di beranda. dan saat itulah mata gue menatap pintu kamar di seberang kamar gue. kamar yg sampai sekarang masih menyimpan rasa penasaran gue. wanita itu....dia cukup terpinggirkan beberapa bulan ini saking sibuknya gue pacaran sama Echi.

"eh, kamer yg itu masih ada penghuninya enggak?" gue menunjuk kamar itu.

"tau deh gue juga nggak ngerti," Indra geleng kepala. "bener kata lo sih, emang ada cewek yg nempatin kamer itu. tapi jarang keliatan keluar masuk nya. gue beberapa kali pernah liat dia di kamer ini."

"terus?" gue seperti disulut penasaran lagi.

"terus apanya? ya biasa aja."

"bukan. maksud gue, cewek itu masih pake kaos kaki item panjang?"

Indra mengangguk lagi.

"menurut lo tuh cewek orang apa setan sih??" tanya Indra.

"jelas orang lah. mana ada setan pake kaos kaki?"

"ya kali aja dia lagi kedinginan?"

gue tertawa kecil. gue seperti mendapat sesuatu yg sempat hilang. rasa penasaran itu, yg sempat sirna beberapa waktu terakhir, kini mulai menjalar lagi di otak gue. terakhir gue ketemu cewek itu ya pas lagi nyanyi tengah malem itu aja. setelah itu dia seolah lenyap. atau gue yg melenyapkan diri ya??

yg pasti malam itu gue duduk lagi di tembok beranda. sambil menyetem gitar milik Indra, gue berharap wanita itu akan muncul lagi malam ini. gue pengen ketemu dia.

Indra lagi shift malam jadi gue sendirian di sana. dan sengaja malam ini gue akan menyanyikan lagu yg sama yg dulu pernah dinyanyikan wanita itu. baru saja gue masuk intro, terdengar sebuah suara dari belakang gue melantunkan lagunya. suara yg cukup melekat di pikiran gue.

wanita berkaos kaki hitam itu. dia ada di belakang gue...

bukan. itu bukan dia...

suaranya lain. eh, iya itu dia. tapi bukan! cara menyanyinya lain!

ah, daripada bingung sendiri gue balikkan badan dan...

"hemmpph........" gue cukup dibuat terkejut saat mendapati sosok Echi berdiri di belakang gue. nyaris saja gue terlompat ke bawah.

"kamu ngagetin aja Chi," gue sedikit terengah karena benar-benar terkejut tadi. "by the way kok lo ke sini gak bilang dulu sih?"

Echi tersenyum simpul. sangat sederhana dengan sedikit sudut bibirnya terangkat ke samping. beda dengan cara dia tersenyum biasanya.

"lo kenapa Chi? kok murung gitu?" tanya gue lagi mendapati Echi yg berdiri mematung di samping gue.

Echi menggeleng perlahan.

"mau bikin kopi?" gue menawarkan.

Echi menggeleng lagi.

"atau lo laper?"

dijawab dengan gelengan lagi. gue turun dari tempat gue duduk. menyandarkan gitar ke dinding lalu berdiri di samping Echi. gue raih dan genggam tangannya. dingin...

tadi sore memang sempat hujan cukup lama dan baru selesai menjelang malam. Echi pasti kedinginan. maka gue pun memeluknya.

"kok agak bau lumpur-lumpur gitu yaa?" gue membatin dalam hati. gue cari ke sekeliling dan di bawah sana ada kubangan lumpur becek tergenang air berwarna cokelat. pasti asal baunya dari sana.

gue membelai pelan rambutnya. entah kenapa malam ini gue merasa sangat damai dengan memeluk Echi sambil menatap langit yg pekat bersih nyaris tanpa bintang. mungkin mereka masih sembunyi gara-gara hujan tadi.

"Ri..." akhirnya Echi bicara.

"kenapa, sayang?" sahut gue di telinganya.

"lo liat bintang itu?" Echi menunjuk satu-satunya bintang yg bersinar di selatan langit.

"gue liat." jawab gue.

"seandainya gue jadi bintang itu, lo mau nggak tiap hari bolak-balik bumi-langit buat ketemu gue di sana?" itu pertanyaan teraneh yg pernah gue denger dalam hidup gue.

"kok nanyanya gitu?" gue tertawa kecil. "apapun akan gue lakukan buat elo, Chi." ciee...gue mulai gombal.

Echi diam merenungi kalimat gue barusan. gue memeluknya makin erat. ah, betapa gue ingin selalu seperti ini. bersama melewati malam dan tak pernah terganti sampai nanti.

beberapa menit kami sama-sama diam. hanya menatap langit tanpa bicara. tiba-tiba nada dering hp gue berbunyi dari kamar Indra. gue lagi nge charge soalnya jadi nggak gue bawa.

"bentar ya sayang, gue angkat telepon dulu." gue lalu bergegas ke kamar.

bokap gue dari kampung nelepon. hanya pembicaraan ringan menanyakan kabar gue di sini dan sedikit perlu dengan uang. nggak lama, hanya sekitar sepuluh menit lalu gue keluar lagi hendak menemui Echi.

"heyy..." gue berseru tertahan mendapati beranda kosong tanpa seorang pun di sana. "Chi, lo di mana say? mau maen petak umpet yah??"

gue tertawa sendiri. tapi bingung juga karena di sini nggak ada tempat buat bersembunyi. gue tunggu lima menit dia nggak muncul juga. maka gue cek ke bawah. gue coba tanya ke temen-temen yg gue kenal dan katanya mereka nggak memperhatikan karena lagi asyik di kamar masing-masing. gue coba keluar siapa tau Echi lagi di warung depan kos, tapi nggak ada juga.

maka gue memutuskan kembali ke atas, mencoba menghubunginya lewat hp. baru aja gue buka pintu kamar, hp gue berbunyi tanda sms masuk.

Gue balik dulu ya, Ri...

begitu pesan dari Echi. langsung gue balas seperlunya ditambah sedikit basa-basi seperti biasanya. gue lalu rebahan di kasur. jam kecil di atas televisi menunjukkan pukul setengah sembilan malam. sudah waktunya tidur. besok pagi-pagi gue harus ke kosan Echi dulu sebelum berangkat kerja karena pakaian ganti gue memang ada di sana. di kamar gue sendiri hanya ada beberapa untuk perlengkapan tidur.

"permisi.." seseorang mengetuk pintu kamar.

bergegas gue buka pintu dan gue lihat penghuni kamar seberang Indra berdiri menenteng gitar milik Indra.

"udah mau tidur ya Mas? ini gitarnya ketinggalan di luar, barangkali ilang kan sayang." dia menyerahkan gitar itu.

"eh iya Pak, tadi saya lupa. makasih banyak Pak."

beberapa saat setelah itu gue sudah rebahan lagi di kasur. malam ini gue pengen ditemani lagu-lagu Mariah Carey. gue cari kaset CD nya di tumpukan kaset di atas VCD lalu gue setel dengan volume seperlunya. damai sekali nampaknya malam ini.

gue pejamkan mata. dan bayangan-bayangan wanita berkaos kaki hitam mulai muncul di benak gue. gue buka mata dan seketika bayangan itu lenyap. saat gue pejamkan lagi mata gue, yg muncul di hadapan gue sekarang adalah wajah Echi.

senyuman teduhnya menghantarkan gue ke alam mimpi...

"tok tok tok!"

ketukan di pintu membangunkan gue dari tidur. ketukannya makin cepat terdengar dan hampir saja pintu roboh kalau gue nggak cepat-cepat membukanya.

"apaan sih lo Ndra?" gue mendengus begitu tau yg mengetuk pintu adalah Indra. "masih pagi juga udah gedor-gedor kamer orang."

"ini kan kamer gue?"

"iya iya. gue ulangi deh, ngapain pagi-pagi gedor kamer elo?"

"buruan pake pakean lo!" kata Indra tetap berdiri di tempatnya.

"ada apaan emang?"

"sms gue masuk nggak sih??"

gue cek hp yg masih tersambung dg charger. di layarnya terdapat pemberitahuan memori pesan penuh. maka gue segera hapus semua pesan di inbox dan satu pesan baru dari nomor Indra langsung masuk.

'Echi kecelakaan. dia dirawat di RS Dewi S*i. nanti gue jelaskan lagi, ketemu di sana aja.'

"maksudnya apaan nih?" tubuh gue bergetar cukup hebat. gue berharap yg gue baca ini hanya sms lelucon.

"tadinya gue mau kita ketemu di sana, tapi gue sms elo kok nggak masuk-masuk ya jadi gue pastikan aja ke sini."

"lo becanda kan?"

"gue tau batasan-batasan becanda Ri. ini serius! semalam gue dapet kabar dari family nya Echi, gue kenal baik keluarganya dan mereka tau gue juga ada di karawang yaa jadi mereka ngehubungin temen terdekatnya Echi yaitu gue."

"terus gimana keadaan Echi sekarang??"

Indra menarik nafas berat.

"dia lagi sekarat. kepalanya mengalami pendarahan hebat, itu yg gue denger dari kakaknya yg ngehubungin gue."

"kok bisa? emang gimana kronologinya?"

"yaah...katanya sih Echi lagi nyebrang mau ke mini market gitu, tanpa dia tahu dari arah kanan ada motor yg melaju kencang dan terjadilah tabrakan maut itu. sayangnya pelaku penabrakan itu kabur."

seketika darah dalam tubuh gue memanas. tulang-tulang gue seolah lemas. gue terduduk dalam diam.

"bukannya lebih baik sekarang kita pastikan keadaannya di rumah sakit?"

gue mengangguk. maka setelah merapikan diri seperlunya gue dan Indra bergegas turun keluar.

"lo napa Ndra?" tanya gue melihat Indra berjalan agak tertatih di belakang gue.

"udah sejak tiga hari yg lalu, gue kecelakaan kerja di pabrik. kebentur mesin gitu."

"ya udah gue aja yg bawa motornya," gue berjalan ke tempat parkir. "motor lo mana Dul?"

"tuh yg Sup*a item. gue lagi pake punya cewek gue. motor gue lagi turun mesin di bengkel kemaren."

dan berangkatlah kami berdua menuju rumah sakit tempat Echi dilarikan. saat itu fajar baru menyingsing tapi gue abaikan rasa dingin yg menusuk sekujur tulang dalam tubuh. kami memacu menembus kabut yg memang masih kerap muncul di pagi hari di karawang. gue nggak peduli. seperti yg gue bilang semalam pada Echi, gue akan lakukan apapun untuknya...

-----

ahh.....rasanya sangat sakit. teramat sangat sakit melihat tubuhnya terkapar tak berdaya. dengan nafas masih tercekat di kerongkongan gue cuma bisa terdiam merelakan mobil ambulans yg membawa tubuhnya berlalu dari tempat ini.

"sabar yah Ri..." Indra menepuk bahu gue pelan. "gue tau yg lo rasain saat ini."

entah sudah berapa lama gue menangis. waktu berjalan sangat lambat.

pagi tadi, gue datang saat tim dokter menyatakan menyerah. pendarahan di kepala Echi begitu hebat sehingga nyawanya tidak tertolong lagi. keluarga Echi memutuskan untuk memakamkan jasadnya di kota kelahirannya Surabaya.

nggak perlu bertanya bagaimana rasanya kehilangan orang yg kita sayang dengan begitu tiba-tiba. samasekali nggak pernah terfikir tentang kepergiannya ini. gue dan Echi sedang dalam hubungan yg harmonis dan mulai membicarakan hal serius tentang hubungan kami. tapi kini semua itu tinggal lalu. menyisakan setitik perih yg mengendap di hati.

menurut info yg gue dapat, Echi mengalami kecelakaan naas itu sekitar jam delapan malam.

"nggak mungkin!" gue masih mencari titik lemah kenyataan di hadapan gue. "semalem itu Echi ke sini. gue dan dia berdiri di sini! kita malah pelukan gitu!" gue menunjuk tembok beranda dimana semalam gue yakin gue berdiri di samping Echi.

"Ri, Echi itu ketabrak jam delapan. terus dilarikan ke rumah sakit jam setengah sembilan..kan lo liat sendiri jam masuknya tadi." Indra mencoba menjelaskan.

"terus kalo gitu yg semalem ngobrol sama gue siapa Ndra??" suara gue meninggi diiringi airmata yg jatuh. "yg gue peluk itu siapa??? lo mau bilang kalo itu setan lagi?!!"

Indra diam. dia nggak berani mengkonfrontir gue. dia lagi-lagi menepuk bahu gue mencoba menenangkan emosi yg tengah mengurung gue.

"gue tau lo sayang banget sama Echi, dia juga sayang sama lo. dia selalu cerita ke gue kalo dia tuh pengen lo jadi yg terakhir buatnya."

Indra diam. gue masih sesenggukan menangis.

"gue nggak bilang yg semalem itu setan atau apa lah itu..tapi gue yakin, kehadiran Echi waktu itu karena dia pengen ada di samping lo menjelang saat terakhirnya. mungkin itu semacam ucapan perpisahan buat lo."

sms itu! gue ingat sms terakhir dari Echi. segera gue cek hp. tapi gue terhenyak, karena tadi pagi gue menghapus semua inbox di hp gue. dan dalam terapi kejut itu, mendadak gue rasa semuanya menjadi gelap....



Next Bagian 3
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
Share This :

Artikel terkait : Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 2

Posting Lebih Baru Posting Lama

0 komentar: