Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 17


Ada satu kejadian yg nggak terlupakan. Waktu itu menjelang akhir tahun.

Sudah lama kami dikabari akan ada kunjungan oleh tim dari perusahaan pusat kami di Jepang. Semua berbenah. Infrastruktur di jalur produksi jadi prioritas utama karena katanya mereka akan melakukan inspeksi di sana selama seharian penuh. Sudah tentu, gw dan temen-temen staff di Machining Departement kebagian repotnya. Selain relay out, dokumen-dokumen yg dibutuhkan di jalur produksi seperti SOP dan QCS butuh banyak revisi. Belum lagi 'dokumen wajib' kami sendiri. Jadilah suasana kantor mengalami peningkatan grafik kesibukan yg cukup signifikan.

Dan hari yg ditunggu pun datang. Dr. Nakata selaku Chief Technical Research Fellow beserta tujuh anggota timnya tiba di perusahaan sekitar jam delapan pagi. Setelah acara penyambutan di ruang meeting intern mulailah mereka menuju jalur produksi. Ruang atas tempat gw nampak serius. Para supervisor termasuk si Melon mendampingi tim inspeksi turun ke line.

"Jangan lupa bungkukkin badan sambil ucap salam kalo ketemu orang Jepang," kata Lisa di sebelah gw menirukan instruksi Pak Agus. Mata tetep ke monitor dan jari-jari menari di atas keyboard, kami mencuri waktu ngobrol.

"Semoga mereka nggak nyasar kemari deh. Repot gw jawabnya. Bahasa Indonesia mereka buruk banget."

"Wajar lah. Jepang adalah negara yg mandiri. Kebanyakan rakyatnya enggan bersusah payah belajar bahasa asing, karena menurut mereka, justru kita yg seharusnya belajar bahasa mereka," dia tersenyum ke gw.

"Oh..lo tau banyak soal Jepang kayaknya."

"Cuma sedikit kok. Gw selalu suka sama alam Jepang. Kayaknya menyenangkan ya kalo bisa tinggal di sana?"

Gw mengangkat bahu.

"Lo nggak tertarik gitu Ri?"

Gw menggeleng.

"Bukan nggak tertarik, gw cuma belum nemu alasan logis yg bisa membawa gw ke sana."

"Ya berandai-andai kan boleh aja."

"Justru itu. Gw belum mau mengharapkan sesuatu yg belum gw harapkan. Bahasa gampangnya apa yak..."

"Bisa aja kan elo ditugaskan di sana? Supervisor Logistik katanya pernah tugas selama dua tahun di Jepang."

"Ah gw beneran belum mikir ke arah sana Lis. Gw masih betah di Karawang."

"Ya pokoknya kalo elo ke sana ajak gw ya!"

"Ngajak lo? Gimana caranya? Yg ditugasin gw, kok elo mau ngikut."

"Bisa aja! Lo nikahin gw, kan gw jadi ada alasan...mendampingi suami gitu! Hehe," dia melet ke gw.

"Duh coba yak...gw belum gableg apa-apa udah disuruh nikahin anak orang. Kalo lo nya mau gw kasih makan sama nasi campur pasir tiap hari sih nggak papa."

"Enggak! Ogah gw juga makan pasir. Mending jadi perawan seumur idup."

"Perawan tua maksudnya?"

"Eh enggak dink! Idih amit-amit Ya Allaah...gw tadi becanda, semoga nggak ada malaikat yg nyatet."

Gw terkikih pelan.

"Eh gw baru sadar deh," kata gw. "Meja lo kan di belakang gw? Kok bisa ada di sini sih?"

"Relay out...mulai hari ini kita tetanggaan. Yg lain juga diubah tempatnya. Mengikuti perintah Jepang, katanya jangan sampe ada ruang yg terbuang. Bahkan kalo memungkinkan nih, satu kantor dimasukkin semua ke WC biar ngirit lay out," kami berdua tertawa.

"Eh anak onta kenapa tuh?" gw menunjuk Leo Parlindungan yg baru saja datang. Dia senyum-senyum sendiri.

Leo yg ngeliat gw nunjuk dia, berjalan ke tempat kami.

"Napa lu?"

"Ah orang Jepang ternyata tidak lebih pintar dari orang Indonesia," pake logat Batak yg kental.

"Kenapa emangnya?"

"Tadi itu yak..aku kan mendampingi mereka ke jalur, nah salahsatu dari mereka ngajak aku bicara," Leo nyerocos. "Tapi pake bahasa Indonesia yg aneh. Dia tanya gini ke aku : 'hey nama benda ini apa?'. Dia bilang gitu sambil nunjukkin spidol dari kantongnya." Leo memperagakan kejadiannya. "Ya sudah aku tulis di hand table nya dia, S-P-I-D-O-L. Spidol."

"Apa anehnya??"

-TING TONG-

Bel pengeras suara dari resepsionis.

"Panggilan kepada Bapak.....eh, kepada Bapak Spidol.....ditunggu di 5C Line. Sekali lagi...."

"Tuh, itu dia!" kata Leo. "Ternyata yg dia maksud tadi, dia itu tanya nama aku...bukan nama benda itu. Jadilah mereka manggil aku 'Spidol'! Udah ah buru-buru ngambil laporan..." dan dia bergegas ke mejanya lalu turun lagi.

Gw dan Lisa cuma bisa tertawa. Saat itulah handphone gw berdering. Telepon dari Indra.

"Halo Dul."

"Halo Ri. Lagi kerja?"

"Iya."

"Hari ini balik jam berapa?"

"Jam empat. Kenapa?"

"Yaudah balik nanti gw jemput lo deh. Lo tunggu di pos satpam aja."

"Mau kemana emangnya?"

"Ke Rumah Sakit."

"Siapa yg sakit Dul?"

"Bini gw.."

"Bini lo sakit apa?"

"Bukan. Bini gw barusan melahirkan. Anak pertama gw Ri! Gw lagi seneng banget ini!"

"Wouw selamat ya! Laki apa cewek?"

"Cowok."

"..."

"Eh si Meva udah balik belom? Gw ajak Meva juga ya biar anak gw ketemu Om sama Tante nya."

"Oke deh."

"Yaudah tunggu gw ntar sore."

"Sip."

Benar-benar kabar yg sangat membahagiakan! Gw jadi nggak sabar nunggu sore. Pengen liat 'ponakan' gw kayak apa. Gw bisa bayangin si Gundul senengnya kayak apa. Sambil dalam hati gw ngebayangin giliran gw punya anak kapan yak? Hehehe!

Bayi mungil yg terbungkus kain putih itu nampak tenang dalam lelap. Dadanya bergerak naik turun seirama nafasnya. Wajahnya agak kemerahan tapi meneduhkan. Dia mewarisi bentuk wajah ayahnya, tapi hidungnya yg meski masih kecil tapi mancung dan lancip sangat identik dengan ibunya.

-HAFA AL FAYYAD-

Nama yg tertulis di papan penunjuk nama yg ditempel di keranjangnya. Dia satu dari sepuluh bayi di ruangan ini yg sedang menikmati tidur pertamanya setelah terlahir sebagai kehidupan baru yg membahagiakan kedua orangtuanya.

"Hafa artinya hujan yg lembut," Indra menjelaskan. "Al-Fayyad yg berarti dermawan. Gw berdoa kelak anak gw jadi orang yg peduli dengan orang di sekitarnya. Dermawan dan menyejukkan layaknya hujan yg turun dengan lembut." Senyumnya masih tertinggal cukup lama di wajahnya.

"Namanya bagus banget," komentar Meva yg berdiri di sebelah gw. Dia bergerak mendekati keranjang kecil dan usapi pipi Hafa kecil. "Lucu. Bikin gemes."

Indra tampak sangat bahagia. Dua matanya yg agak sayu karena kelelahan, tertutupi saking bahagianya.

"Gw sempet takut kalo mesti cesar," ceritanya. "Sebelum ini dokter sempet bilang janin anak gw agak nyungsang gitu, tapi untunglah istri gw nurut anjuran-anjuran dokter, dan saat persalinan pagi tadi berjalan normal."

Indra lalu menceritakan bagaimana telatennya dia menjaga kondisi istrinya menghadapi kelahiran buah hati mereka. Juga bagaimana kagetnya dia sewaktu pagi tadi mendadak pihak Rumah Sakit meneleponnya. Untunglah dia nggak melewatkan momen bersejarah kelahiran anak pertamanya. Indra ada di samping istrinya mendampinginya melalui detik-detik mendebarkan itu.

"Liat nih tangan gw sampe merah gini gara-gara Dea kuat banget pegangannya," dia usapi bekas luka di lengan kirinya.

"Pah..." kata Meva sambil nengok ke gw. "Kapan nih kita punya anak??"

"Gimana pengen punya anak, Papah disuruh tidur di sofa terus!" balas gw lalu disusul tawa kami bertiga.

Rupanya suara kami mengganggu. Hafa terbangun dan langsung menangis lantang. Suaranya melengking tapi halus. Seorang suster di ruangan itu menghampiri kami tapi Indra berinisiatif menggendong bayinya.

"Elo apain Hafa tadi?" gw berbisik ke Meva.

"Enggak gw apa-apain kok," Meva gelengkan kepala. "Cuma nyubit pipinya doang. Sedikiiiit..."

"Sedikit tapi kenceng ya pantes aja nangis tuh."

"......"

Indra menepuk-nepuk bayi dalam gendongannya.

"Kita ngobrol di luar aja," katanya. "Yg lain nanti pada bangun. Kita bawa Hafa ke mamahnya. Dia laper kayaknya."

Lalu kami didampingi suster tadi menuju ruangan istrinya Indra berada. Karena di sana ada beberapa family yg juga datang menjenguk, gw dan Meva cuma ikut nimbrung sebentar lalu keluar ruangan.

"Thanks ya Ri, Va, udah pada mau jenguk ponakan.." kata Indra sumringah.

Gw dan Meva kompak mengangguk.

"Selamat deh ya," gw menepuk bahunya pelan. "Semoga kelak Hafa bisa jadi seperti yg dicita-citakan kalian."

"Amiin..."

Gw menoleh ke Meva dengan pertanyaan "mau pulang sekarang?". Yg dijawab Meva dengan mengangkat kedua bahunya. Gw liat arloji udah jam setengah tujuh petang.

"Dul gw sama Meva pamit yah...udah malem..." kata gw.

"Oke. Gw anter balik?"

"Boleh kalo lo nggak kecapean."

"Bentar gw ambil kunci mobil di dalem."

Dan kami diantar pulang sampe depan kosan oleh Indra menggunakan mobil pinjeman dari kantornya. Hari sudah benar-benar gelap waktu gw dan Meva sampe di beranda kamar kami. Gw duduk selonjoran di kursi dan Meva di tembok balkon melepas penat. Gw belum sempet ganti pakaian, pulang kerja tadi langsung dijemput Si Gundul lalu dilanjutkan menjemput 'paksa' Meva yg sebenernya masih ada jam kuliah.

"Ri," kata Meva sambil melepas kacamatanya. "Hidup Indra tuh sempurna banget ya?"

Gw tersenyum.

"Dia udah punya segalanya yg dia mau," lanjut Meva. "Pokoknya udah lengkap deh dengan kehadiran Hafa."

Gw juga membayangkan demikian.

"Kira-kira kita bisa nggak ya kayak Indra, beberapa tahun ke depan?" kata Meva lagi.

"Jelas bisa laah. Berusaha dari sekarang. Ngumpulin dulu yg bener.."

"Kalo elo, apa yg lagi lo kumpulin sekarang?"

"Duit buat beli rumah. Kan nggak mungkin selamanya gw ngekos di sini."

"Lo mah enak udah punya kerjaan. Nah gw..."

"Ya elo juga berusaha dong, sesuai keadaan lo saat ini. Lo kan mahasiswa nih, ya lo kuliah aja dulu yg bener. Wisuda. Cari kerja, terus mulai tentuin apa aja yg elo mau. Beli rumah kek, beli mobil...ya target lo aja apa."

"Hehehe. Iya juga yak. Soalnya kadang suka takut sendiri ngebayangin masa depan gw nanti."

"Rejeki udah ada yg ngatur kok."

Meva tersenyum lalu turun dan masuk ke kamarnya. Gw masih duduk sambil pejamkan mata. Dalam hati gw berdoa, semoga kelak gw juga punya kehidupan yg sempurna seperti yg gw inginkan..

Hello, is it me youre looking for?
'Cause I wonder where you are
And I wonder what you do
Are you somewhere feeling lonely
Or is someone loving you?
Tell me how to win your heart
For I haven't got a clue
But let me start by saying
"I love you.........."



Lantunan lagu Lionel Ricchie terdengar sayup-sayup dari salahsatu komputer di ruang staff. Saat itu jam makan siang. Cuma ada beberapa orang di sini, termasuk gw, yg memanfaatkan jam ini buat lanjutin kerjaan yg lagi nanggung ataupun sekedar molor di bawah AC.

-GAME OVER-

Untuk ketiga kalinya gw tewas di level 4. Ngeselin juga. Padahal kalo gw liat Lisa udah berkali-kali namatin ini game. Dia merekomendasikan ke gw buat nyoba maenin "Metal Slug", katanya dia nggak tega tiap liat hamster guling-gulingan dalem bola kaca.

"Lo mikirin nggak sih perasaan tuh hamster tiap kali bolanya pecah?" ini kalimat yg sering dikatakannya ke gw. Atau sekedar bilang, "Ri...kasian atuh hamsternya..."

Gw close game. Masih ada sisa waktu istirahat setengah jam lagi. Gw liat-liat koleksi foto di komputer Lisa. Foto waktu acara family day di Kebun Raya. Ada beberapa foto konyol yg bikin gw cengar-cengir. Dan setelah gw liat-liat lagi, ada satu pertanyaan yg terngiang di kepala gw : kok Leo demen banget foto bareng onta? Ada sepuluh an gambar di mana dia berpose sambil membelai punggung onta.

Lisa sendiri nggak terlalu sering muncul di foto. Kalopun muncul, itu foto bareng temen, itu juga temennya yg ngajakin foto bareng. Ada satu foto lagi yg bikin gw senyum. Foto gw bareng Lisa, di depan pintu masuk Kebun Raya.

Sejenak gw tertegun.

"Cantik....." (Lisa nya yak, bukan pintu masuknya)

Ah, Lisa emang gitu sih. Kadang cantik kadang biasa aja, tergantung dandanannya. Kalo Meva kan didandanin apapun juga tetep cantik. Duh coba yak, kenapa jadi Meva dibawa-bawa?? Hehehe.

Acara "oprek-oprek" berlanjut. Gw nemu satu folder yg menarik perhatian gw. Entah kenapa tiap liat tulisan "Jangan Dibuka" gw justru malah pengen ngebuka. Di folder itu gw nemu satu file tanpa ekstension berjudul "LisA". Ukurannya cuma beberapa puluh kilobyte. Gw buka pake windows media player, nggak bisa. Gw coba masukkin ekstension audio, foto, tetep aja unread.

Ngasal aja gw coba pake ekstension Ms.Word dan.......berhasil ! Icon file itu muncul, dan langsung gw klik. Tengok kanan-kiri, mastiin yg punya komputer belum nongol, lalu gw baca dokumen itu.

Hmm seperti sebuah catatan...

...Kenapa sih, gw selalu mikirin dia? Kenapa juga gw selalu berharap yg hadir di mimpi gw, cuma dia? Kenapa tiap kali gw berangkat kerja, orang pertama yg gw sapa adalah dia? Kenapa di tiap hari gw selalu dia yg bisa bikin gw ceria? Lawakannya kadang-kadang garing, tapi kenapa buat gw itu lucu yaaa??

Gw sakit. Dia yg pertama nanyain keadaan gw...

Gw laper. Dia yg nawarin buat nitip roti ke Bang Jo...

Gw sedih. Dia yg bikinin gw teh anget di pantry...

Gw kesel. Dia jadi pelawak yg hebat! Biar garing tapi tetep lucu.

Sedalam itukah dia hadir di hidup gw? Mungkin dia nggak pernah mikirin gw seperti gw mikirin dia. Mungkin buatnya, semua perhatiannya ke gw hanya satu hal kecil. Tapi buat gw itu berarti banget!

Gw sayang dia, Tuhan...Gw pengen tetep seperti ini. Gw pengen dia yg ada di samping gw tiap gw bangun dari tidur. Gw pengen dia yg membelai perut gw menjelang kelahiran buah hati kami kelak. Gw pengen membangun sebuah keluarga dengannya.....

Tolong katakan Tuhan, apa gw salah berharap seperti ini? Kalo memang salah, biarkan gw belajar bagaimana menjalani hari tanpa harus ada dia. Tanpa harus memanggil namanya. Tanpa harus mendengar semua candaannya. Tanpa harus duduk berdampingan di tempat yg sama. Tapi gw yakin gw nggak sanggup!

Gw udah terlalu terbiasa dengan kehadirannya. Gw belum siap nyeduh teh sendiri tiap gw sedih. Gw belum siap, nggak ada yg sms gw nanyain 'Gimana keadaan kamu sekarang?' ketika gw sakit.

Beberapa hari ini dia kelihatan murung dan sedih. Gw paling nggak bisa liat orang yg gw sayang, seperti itu. Gw akan hibur dia.

Hari ini gw akan menyatakan perasaan gw ke dia. Gw pengen dia tau yg gw rasain selama ini. Mungkin ini akan nggak nyaman buatnya, tapi gw harus jujur ke dia. Gw nggak mau jadi orang paling menyesal di dunia yg nggak pernah bisa mengungkapkan perasaan ke orang yg gw sayang.

Mendung nih. Walaupun gw nggak berhasil menemukan korelasi antara mendung dengan sukses atau nggak nya gw mengungkapkan perasaan, gw akan jujur. Dia lagi sendirian di pantry, semoga ini waktu yg tepat buat gw.....

Gw diam. Pikiran gw melayang kembali ke sore dimana Lisa mengungkapkan perasaannya ke gw. Lalu lebih jauh lagi ke momen-momen yg pernah gw lalui sebelumnya. Becanda bareng, ngecengin Pak Agus secara sembunyi-sembunyi, kongkalikong masukin garam ke kopinya Leo, nitip absen tiap salahsatu telat dateng, nonton bioskop, dinner, semuanya berputar di kepala.

Gw juga terbiasa dengan dia.

Apa mungkin sebenernya gw juga sayang sama Lisa?

I need you...
And I couldn't live a day without you
I need you...
More than everyone could ever know
I need you...
And I wanna build my world around you
I need you...
I need you...



"Ini siapa pula yg nyetel lagu ginian siang-siang kayak begini," Leo menggerutu sambil jalan. "Bikin ngantuk aja."

Dia berhenti di depan meja gw.

"Ah aku kira kau yg nyalain lagunya," lanjutnya.

Gw gelengkan kepala dengan gesture yg mengatakan 'bukan gw..'

"Padahal tempo hari aku baca di Kompas, katanya Michael Jackson udah mati."

"Yg lo baca koran bekas 'kali?"

"Enggak. Edisi terbaru aku beli."

"Nah kalo emang iya udah mati, terus kenapa?"

"Tak apa sih. Aku cuma kasian aja."

"....."

"Hah, aku beneran ngantuk jadinya."

Leo kembali ke mejanya. Hampir bersamaan dengan itu Lisa datang dan langsung mengambil posisi duduk di kursinya. Kayaknya sebelum ini dia ke WC dulu, semprot parfum, rapihin make up minimalisnya, nyisir rambut sekalian olesin lipgloss yg sempet luntur gara-gara makan tadi. Dia wangi banget.

"Kenapa?" Lisa nanya gw yg mendadak tertegun melihatnya.

"Eh, enggak..." gw salah tingkah sendiri. Buru-buru gw sok sibuk buka kerjaan.

"Cantik..."

Lisa mulai sibuk dengan kerjaannya. Untung tadi gw sempat kembalikan catatan yg gw baca ke keadaannya semula. Entah kenapa siang ini kalimat dalam catatan Lisa berputar-putar di kepala gw.

"Ekhem," gw pura-pura berdehem begitu Lisa menangkap pandangan mata gw yg curi pandang ke dia.

"....."

Gw jadi nggak konsen. Agak gelisah sendiri jadinya.

"Ekhem!" giliran Lisa yg berdehem mendahului gw. Lagi-lagi dia ngegep gw lagi curi pandang. Gw pura-pura nggak ngerti aja.

Dan akhirnya kejadian itu berlangsung selama beberapa lama. Curipandang-buangmuka-ekhem!

"Eh bener deh...lo kenapa sih Ri?"

"Mmmh enggak...enggak papa kok. Beneran."

"Lo mendadak aneh siang ini."

"Oiya? Enggak ah."

"Daritadi batuk-batuk terus."

"Gw sakit perut soalnya." Gw jawab dengan bodohnya.

"Emang ngaruh? Baru tau gw sakit perut bisa mengakibatkan batuk."

"Baru tau kan? Sama, gw juga."

"Kenapa daritadi liatin gw kayak gitu?"

"Eh, gw...? Liatin elo? Enggak kok."

"....."

"Gw ke WC dulu ah. Jadi sakit perut beneran."

"Tuh kan yg tadi bohong yak?"

"Enggak kok, yg tadi juga beneran."

Buru-buru gw pergi. Gw nggak sakit perut sebenernya. Gw ke pantry, nyeduh teh manis. Duh napa yak mendadak aneh sendiri gw. Lima menit terdiam di pantry ditemani senandung fals dua OB yg lagi nyuci piring, gw berjalan menuju pintu. Gw terdiam lagi. Berdiri dengan sudut kemiringan 37,85 derajat ke arah timur. Dari sini gw bisa memandang bebas Lisa yg duduk membelakangi gw. Jaraknya cukup jauh, tapi gw masih bisa melihatnya dengan jelas. Gw kembali tertegun. Ada pikiran-pikiran aneh yg mendadak menari di otak gw.

-BIP BIIP-

Handphone gw bunyi. Ada sms. Dari Lisa.

-Lo lagi ngapain sih?? Bengong di depan pantry ngeliatin gw??-

-Tau dari mana? Gw nggak liat ada mata di belakang kepala lo.-

-Leo sms gw.-

Spontan gw memandang ke meja Leo. Dia lagi nyengir lebar ke gw, selebar lapangan bola yg memperlihatkan gigi ontanya yg seukuran sepatu orang dewasa. Dua jari tangannya diangkat seolah mengatakan "Peace..."

"Haduh..." gumam gw menggerutu. Lalu gw kembali ke kursi gw.

"Pak Agus minta daftar rekap lembur bulan ini," kata Lisa begitu gw duduk.

"Bentar gw selesaiin dulu.."

Setelah beberapa lama gw print laporannya.

"Mau ke mana?" tanya gw ke Lisa yg bergegas mengambil kertas dari printer lalu beranjak pergi.

"Nyerahin laporan ini ke Pak Agus lah."

"Apa dia juga minta lo yg nyerahinnya?"

"Enggak. Gw cuma berbaik hati nganterin laporan."

"....."

Nggak kurang dari dua menit kemudian Lisa balik lagi. Masih membawa kertas yg tadi, ditodongkannya ke muka gw.

"Kenapa?" gw ambil kertasnya dan mulai memperhatikan. "Laporannya salah?"

"Cek yg bener lah."

"Ini udah bener kok. Rincian jam sampe TUL nya bener ah!"

"Iya itunya emang bener. Tapi nama-nama karyawannya.........."

Gw langsung cek daftar nama 20 karyawan di laporan lembur gw.

"...........kenapa mendadak semua karyawan namanya Lisa Maharani??? Itu kan nama gw!"

"?????"

Bener. Nama pertama sampe nama terakhir, semuanya Lisa!! KOK BISA YAA??

"Pak Agus sewot tuh tadi."

"Hehehe...Maaf."

"Buruan diganti yg bener. Ditungguin katanya."

"Iya ini gw kerjain."

Lima menit kemudian gw udah selesai mengoreksi nama. Langsung gw print.

"Lo kenapa sih Ri siang ini aneh banget!"

"Enggak kok..."

"Ada yg salah ya sama penampilan gw? Daritadi juga lo liatinnya aneh gitu. Terus kok nama-namanya bisa jadi nama gw semua?"

"Ah, biasa ajah...Mungkin gw lagi nggak konsen ajah."

"Lagi ada yg dipikirin?"

Sejenak gw pengen menggeleng, tapi entah kenapa gw malah ngangguk.

"Mikirin apa?"

"Enggak. Bukan apa-apa." Gw berdiri, mengambil kertas laporan dan bergegas ke ruangan Pak Agus.

"Gw mikirin elo Lis...."

"Entah kenapa.......mendadak siang ini lo keliatan cantik banget............"

Enggak. Berulangkali gw berusaha meyakinkan hati gw, perasaan yg sekarang gw rasakan cuma efek dari catatan yg gw baca. Perasaan gw ke Lisa, enggak sama seperti perasaan gw ke Meva. Gw sayang sama Meva… Lisa? Entahlah, gw belum paham perasaan apa yg ada sekarang.

“Pilihannya cuma dua,” kata Indra beberapa hari yg lalu waktu gw berkunjung menjenguk ponakan. “Elo kejar cinta orang yg elo sayangi, atau elo menerima cinta orang yg menyayangi lo.”

“Kalo itu mah gw juga tau Dul.”

“Nah ya udah, terus apa yg bikin bingung?”

“Ya gw bingung harus pilih yg mana diantara dua itu?”

Indra cuma senyum-senyum aja.

“Belum ada yg minta elo buat milih,” katanya. “Lisa emang udah ngungkapin perasaannya ke elo. Tapi dia nggak pernah minta elo buat milih dia kan? Meva, apa lagi tuh anak…..ngomong soal perasaannya aja nggak pernah kan?”

“So, itu artinya?”

“Berarti lo sok cakep. Belagak bingung mesti pilih yg mana………..”

“Hehehe.”

“Lo jalanin aja dulu. Kalo udah saatnya, baru dah elo tentuin pilihan lo. Pasti bakal ada yg sakit memang, tapi lebih baik gitu kan daripada malah kalian bertiga yg sakit??”

Gw senyum-senyum sendiri inget ‘wejangan’ si Gundul. Harus gw akui, dia memang lebih pengalaman soal kayak ginian. Lagipula kayaknya memang gw nya ke GR an deh. Belum tentu juga kan Meva mau sama gw?? Ah, sebenernya gimana sih perasaan dia ke gw? Apa dia juga bisa rasain yg gw rasain? Gw nggak akan pernah tau kalo nggak nanyain langsung ke orangnya. Tapi gimana caranya? Gw masih belum cukup punya nyali setelah kegagalan di kesempatan pertama gara-gara headset.

Gw belum pernah sepengecut ini sama wanita. Gw selalu berani mengungkapkan perasaan gw ke orang yg gw suka. Tapi Meva? Ah, dia memang unik. Dia berbeda. Dan perbedaan itulah yg justru sebenernya membuat gw sayang ke dia.

Suatu siang di pertengahan Januari 2004………

“Ri,” Meva membuka pintu kamar gw. Dia senyum lebar dengan tatapan matanya yg khas. “Temenin gw makan yuk? Laper nih.”

Waktu itu gw lagi nyetrika seragam.

“Entar yah gw beresin dulu setrikaan gw.” Kebetulan gw juga belum makan dari pagi.

“Oke. Gw juga mau ganti baju dulu.”

“Ganjen amat makan di warteg ajah pake ganti baju segala.”

“Ya iyalah, masa gw ke warung mau pake anduk aja gitu??” dia melotot ke gw.

Gw liat lagi, meva baru selesai mandi. Dia masih pake handuk. Beberapa kali butiran air menetes dari ujung rambutnya.

“Ya udah pake baju dulu sana.”

“Dari tadi juga gw bilang gituh!”

“………”

Meva berlalu. Gw buru-buru selesaikan kerjaan gw. Udah laper banget soalnya. Dan kurang dari sepuluh menit kemudian gw sudah di depan kamar. Mengunci pintu lalu ke menyusul Meva di kamarnya.

“Mau makan apa?” Tanya Meva dalam perjalanan kami menuruni tangga.

“Apa aja boleh.”

“Apa aja yaa……….Mmmh…..Makan pasir, mau?”

“Ada menu yg lain?”

“Sop buntut kecoa. Enak tuh!”

“Waaah…..menunya high class banget yah? Gw yakin kalo lo buka rumah makan Padang, pasti laku keras.” Dengan nada menyindir.

“Ya elo mau makan aja pake bingung. Biasa makan sayur asem sama sambel pete juga.”

Gw tertwa kecil. Kami berjalan keluar gang menuju warung makan langganan kami. Gw pesen nasi telor, Meva katanya lagi pengen makan semur kodok setengah mateng plus jus kutil tapi katanya lagi kosong jadi dia pesen sama kayak gw.

“Gw mau beli motor Va…” gw cerita soal rencana yg sebenernya udah lama pengen gw wujudkan.

“Wah ide bagus tuh!!” Meva mengacungkan dua jempol tangannya.

“Bentar gw tebak. Ide bagus, karena nanti lo bisa maksa gw buat jemput lo di kampus yak??”

“Hebat! Kok tau??”

“Udah kebaca sama gw mah.”

“Yeeeeeeeey emang otak gw sejelek itu yak?” Meva memasang raut muka sedih. “Gw kan juga pengen kayak temen-temen yg laen di kampus, pada jalan sama cowoknya pake motor. Anter-jemput lah.”

“Kenapa lo nggak bilang dari dulu?? Tau gitu kan gw bisa carter tukang ojek buat anter jemput lo ke kampus?”

“Ya Tuhan…tukang ojek? Kejem bener lo Ri.”

“Hehehe…”

“Yah pokoknya gw dukung deh kalo lo pengen beli motor.”

“Gw capek ngojek mulu. Kadang suka telat nyampe kantor juga. Kalo punya motor sendiri kan bisa berangkat kerja semau gw, nggak perlu diburu-buru waktu.”

Kami melanjutkan makan.

“Gimana kuliah lo?”

“Lancar-lancar aja. Cuma agak sibuk sih, udah semakin deket semester akhir soalnya.”

“Baguslah. Belajar yg rajin biar nggak jadi mahasiswa abadi.”

“Tenang ajah, gw pasti bisa penuhi deadline cita-cita yg gw tulis kok. Eh, by the way entar kalo pas gw wisuda, lo hadir yak? Gw pengen ada yg menyaksikan salahsatu momen bersejarah di hidup gw. Ya? Dateng ya?”

“Beresss. Apa sih yang enggak buat elo Va?”

“So sweet bangeet…….” Dia mencubit pipi gw. “Kalo gw minta elo ngambil bunga di tepi jurang, elo mau?”

“Ya enggak lah!”

“Tadi katanya anything for me???”

“Iya kecuali bagian yg ngambil bunga itu.”

“Berarti elo bukan tipe cowok yg mau berkorban demi ceweknya yak?”

“Yg namanya pengorbanan nggak mesti seekstrim itu kali. Lagian lo bukan cewek gw. Ngapain juga berkorban buat lo?”

Meva pasang muka cemberut.

“Gw berharap, seandainya gw punya cowok……gw pengen punya cowok yg mau ngambilin bunga di tepi jurang buat gw….”

“Denger gw Va, kalo suatu saat gw punya cewek dan dia minta gw ngambil bunga di tepi jurang, gw nggak akan mau. Karena kematian gw hanya akan membuat dia sedih. Gw nggak mau bikin orang yg gw sayang menangis. Masih banyak cara buat nunjukkin pengorbanan. Dan cinta nggak mesti selalu berwujud ‘bunga’…..”

“Jadi intinya……….” Kata Meva pelan……..sangat pelan…………

“……”

“Lo mau nggak jadi cowok gw?”
……….
“Hah? Apa tadi, gw nggak denger pertanyaan lo…?”

“Eh, pertanyaan yg mana?? Enggak kok! Enggak! Gw nggak nanya apa-apa..” wajahnya bersemu merah.

Hufffttt……………padahal tadi sempet shockterapy nih jantung. Apa gw salah denger yak?? Tapi kayaknya enggak deh…

“Udah ah, buruan abisin makannya!” Meva mendahului gw berdiri. “Gw bayar dulu yah. Gw tunggu di luar. Cepetan yak mendadak gw sakit perut nih.”

“…..”


Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
Share This :

Artikel terkait : Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 17

Posting Lebih Baru Posting Lama

0 komentar: