Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 25



Malam itu gw ke beranda dengan secangkir kopi dan sedikit cemilan di piring. Gw duduk di kursi favorit gw, lalu mengirim sms ke Meva.

-gw di beranda nih. keluar donk temenin gw ngobrol...-

Dan kurang semenit kemudian Meva sudah duduk di tempat favoritnya di tembok beranda. Dia mengenakan setelan kaos dan celana jeans panjang hitam. Rambutnya disanggul ke atas, kali ini menggunakan konde berbentuk sumpit warna cokelat. Tapi yg membedakan malam ini adalah Meva memakai soft lens hijau. Dengan make up tipis dan seadanya dia tampak sederhana tapi manis.

"Nggak lembur?" tanyanya sambil mencicipi cemilan.

Gw jawab dengan gelengan kepala.

"Kok gw nggak denger suara loe dateng yah tadi sore?" tanyanya lagi, heran.

"Gw pake 'silent mode' soalnya," jawab gw lalu tertawa.

"Eh, kok tumben lo ngopi Ri?" Meva mengangkat cangkir kopi gw. "Bukannya lo nggak suka kopi ya?" dia menaruh lagi cangkirnya.

"Gw suka kok. Cuma jarang aja ngopinya."

"Oooh...baru tau gw. Duh kemana aja yak gw!" Meva menepuk jidatnya seolah baru tau kalo gw suka kopi adalah sebuah dosa besar buatnya.

Sejenak kami terdiam.

"Eh nanti lusa jangan sampe lupa yak!" Meva mengingatkan soal wisudanya.

Gw tersenyum lalu menjawab, "Beres itu mah. Gw udah ambil cuti dua hari, besok sama lusa. Jadi gw bisa nemenin lo pas wisuda."

Meva tertawa kecil dan mendadak seperti mengusap airmata di matanya dengan jari telunjuknya.

"......."

"Nggak papa kok, nggak papa," Meva buru-buru menjawab pertanyaan dalam hati gw. "Saking senengnya nih gw sampe mendadak nangis."

"......."

"...Ri, sebenernya dari dulu gw berharap banget, nyokap gw bisa hadir di wisuda gw. Gw pengen nyokap liat anaknya berhasil menamatkan kuliahnya. Buat gw itu berarti banget, sebagai langkah awal gw nanti ngebangun kehidupan gw sendiri," kali ini Meva menggunakan lengan kaosnya usapi airmatanya yg perlahan jatuh di pipinya yg halus.

Gw terenyuh, dan memori di kepala gw memutar adegan wisuda beberapa tahun yg lalu, dan dalam hati gw bersyukur di hari itu gw bisa bersama kedua orangtua gw lengkap. Sebuah momen yg sangat berharga dan nggak akan gw lupakan.

"......."

"Tapi gw yakin Mamah di sana juga pasti bangga ya liat gw wisuda," Meva menghibur dirinya sendiri.

"Dan akan lebih bangga lagi kalo setelah wisuda ini, lo bisa menentukan masa depan lo dengan baik," sahut gw.

Meva mengangguk semangat mengamini pernyataan gw.

"Gw pasti buktiin itu," ucapnya lebih ke dirinya sendiri. "Gw anggap wisuda ini adalah kotak pertama gw, dan masih banyak kotak lagi menuju kotak terakhir buat jadi menteri."

Kami berdua saling pandang.

"Lo masih inget kan soal 'menteri' yg lo bilang dulu?" Meva mengingatkan.

"Masih," jawab gw pendek.

Meva tersenyum lagi. Dia turun, berjalan mengelilingi kamar-kamar yg ada di lantai atas sini, dan kembali ke tempatnya. Berdiri lalu tersenyum lebar.

"Hmmm....Suatu hari nanti, kalo gw udah nggak di sini lagi, gw akan merindukan momen-momen seperti ini..." ucapnya menatap lurus ke depan.

"......."

"......."

"Apa ini artinya lo bakal pergi, Va?"

Meva menoleh ke gw.

"Kecuali ada yg 'menahan' gw buat tetap di sini," dia mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa.

"Ohya? Kalo gitu apa yg bisa menahan lo tetap di sini?"

"......." Meva diam berpikir, dengan gaya tolol khas nya.

"Masa lo nggak tau sih?" tanyanya kemudian.

Gw menggeleng. Nggak mengerti.

"Yaudah kalo gitu cari tau dulu deh. Hehehe..." dia menjulurkan lidahnya.

Gw mendengus pelan.

"Wah ada yg lagi pacaran nih kayaknya," tiba-tiba si Gundul Indra muncul di ujung tangga, dengan kantong hitam di tangannya. Indra, yg sejak married nggak pernah membiarkan rambutnya gundul lagi, berjalan menghampiri kami. Gw menjabat tangan Indra semangat.

"Boleh gabung? Nih gw bawa softdrink sama cemilan biar nggak asem tuh mulut," Indra meletakkan kantongnya di lantai. Dia duduk di ujung tembok dan bersandar ke dinding kamar. Menyulut sebatang rokok lalu nyengir lebar.

"Denger-denger ada yg mau wisuda ya," katanya melirik Meva.

Meva mengangguk semangat, dan mulai ngoceh menceritakan gimana deg-deg an nya dia waktu sidang dulu. Indra dan gw sesekali tertawa tiap mendengar konyolnya Meva ngejawab pertanyaan dosennya. Topik pembicaraan selain itu tentu saja, nostalgia masa dulu kami bareng di kosan ini.

"By the way tumben lo ke sini Dra, Kak Dea nggak nyariin ya emangnya?" tanya Meva setelah panjang lebar cerita.

"Gw udah ijin kok, sengaja mau reunian sama kalian. Nggak tau kenapa seharian ini gw kangen banget sama kosan ini! Apalagi sama kamer gw," Indra menunjuk kamar yg dulu ditempatinya. Dia melamun sebentar lalu tersenyum. "Seribu hari yg indah rasanya nggak akan sanggup mengganti masa-masa itu ya. Dua tahun yg akan datang belum tentu kita bisa kayak gini lagi."

Ah, gw jadi mellow. Dan akhirnya malam itu kami bernostalgia di beranda sempit ini. Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, entah kapan waktunya, semua ini akan berlalu. Dan gw selalu yakin, ini semua akan berakhir indah nantinya.......

Dan akhirnya hari itu pun tiba...

Gw duduk dengan tenang di dalam aula besar yg sudah riuh rendah oleh orang banyak. Gw duduk di lima deretan paling belakang dekat pintu keluar di deret selatan kursi yg menghadap sebuah panggung cukup besar setinggi setengah meter. Deretan depan diisi para wisudawan yg sudah siap dengan kostum toga hitam-hijau nya. Sementara para undangan seperti gw ditempatkan di deret belakangnya.

Setelah berjam-jam mendengarkan 'sepatah-dua patah kata' super membosankan dari jajaran rektorat dan para profesor, di atas panggung sana sedang dimulai acara inti pengukuhan wisuda. Gw senyum-senyum sendiri inget momen gw wisuda dulu. Gw bisa merasakan aura kebahagiaan mereka di dalam aula ini.

Meva, duduk di deret ke dua dari depan. Beberapa kali dia menoleh dan melempar senyum ke gw. Benar-benar pemandangan yg menakjubkan, melihatnya duduk di sana berbalut jubah toga hitam-hijau. Senyum kebahagiaan selalu hadir di wajahnya yg manis, pertanda bahwa hari ini memang hari yg membahagiakan. Bukan cuma buat dia sendiri, tapi buat gw pun hari ini adalah hari yg sakral. Memang, dengan wisuda kita belum punya jaminan apapun tentang masa depan kita. Wisuda juga belum bisa jadi ukuran kesuksesan seseorang. Tapi gw rasa semua pasti setuju bahwa wisuda adalah langkah pertama untuk menjalani hidup yg sebenarnya. Di sinilah titik awal yg menentukan seperti apa masa depan kita kelak. Dan tentu saja, langkah awal yg baik akan selalu menghasilkan perjalanan yg baik. Biar bagaimanapun sejauh-jauhnya perjalanan, selalu dimulai dari langkah pertama...

Gw tetap duduk tenang meski kaki gw terasa panas karena duduk berjam-jam dalam ruangan panas ini. Tapi melihat betapa bahagianya Meva di depan sana, lelah dan bosan karena menunggu lama, seperti lenyap tak berbekas. Gw benar-benar merasakan kebahagiaan yg dirasakannya hari ini. Perjuangannya selama ini melewati masa-masa sulit dalam hidupnya, mulai menghadirkan titik cerah. Dengan sedikit lagi perjuangan, gw yakin Meva akan mendapatkan apa yg dia impikan selama ini.

Lihat ke langit luas
Bersama musim terus berganti
Tetap bermain awan
Merangkai mimpi dengan khayalku
Selalu bermimpi dengan hadirku...


Entah kenapa tiba-tiba lagu ini terngiang di benak gw......

Di atas panggung MC sudah memanggil nama Meva. Meva berdiri, menoleh ke gw, gw balas dengan anggukkan kepala, lalu dia mulai berjalan menuju panggung.

Pernah kau lihat bintang
Bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka
Coba temani dekati aku
Selalu terangi gelap malamku..


Meva sudah di atas panggung sekarang. Dan di sinilah momen seremonial yg nggak terlupakan itu terjadi. Pemindahan tali toga sebagai simbol bahwa setiap wisudawan kini harus lebih memperkaya ilmu dalam otak kanan mereka, pengalungan selendang gelar, kemudian dilanjutkan penyerahan gulungan sertifikat yg diikat dengan seutas pita hijau. Urutan kejadian ini terekam dengan baik dalam ingatan gw.

Hmmm sulit dijelaskan rasanya melihat bahagianya Meva di depan sana. Dia mengangkat gulungan kertas di tangannya di tangannya dengan senyum penuh kemenangan. Gw berdiri dari duduk untuk kemudian bertepuk tangan dan spontan diikuti semua orang dalam ruangan ini.

Meva bergegas turun dari panggung, sedikit mengangkat jubah bawahnya, dan berjalan cepat ke arah gw. Kami bertemu di sisi luar kursi, dan saat itulah Meva memeluk gw. Dia menangis di pundak gw sampai nggak menyadari topinya terjatuh. Mau nggak mau gw jadi terharu juga. Mata gw berkaca-kaca menikmati momen bahagia ini.

"......."

"......."

Selama beberapa saat Meva larut dalam tangis bahagianya.

"Hari ini gw bangga sama lo Va," bisik gw di telinganya.

"......."

Meva cuma memukul-mukul pundak gw pelan.

"Thanks Ri..." sahut Meva di sela isaknya. "Hari ini gw bahagia banget! Ini hari terindah di hidup gw! Thanks yah buat semuanya!!!"

Gw tersenyum, tanpa berusaha menyembunyikan rasa haru yg membubung dalam dada gw.

"Gw selalu bahagia kalo lo bahagia Va..." gw sampe speechless.

"Thanks Ri......." Meva mempererat pelukannya.

Dan hari itu pun memang benar-benar jadi hari yg paling membahagiakan. Semua kerja kerasnya selama lebih dari lima tahun ini terbayar dengan kebahagiaan dan nilai kepuasan yg nggak akan pernah sepadan dengan apapun. Gw benar-benar bisa merasakannya, ketika detak jantungnya berdetak di dada gw. Ketika nafasnya berembus di leher gw. Dan ketika jari-jari tangannya dengan hangat menggenggam tangan gw erat.

Saat itulah gw sadar, Meva adalah ciptaan terindah yg pernah Tuhan ciptakan di hidup gw...


Dan rasakan semua bintang
Memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua
Hanya kita dan bintang...

 
Suatu malam di awal Januari tahun 2005. Waktu itu hampir lima bulan setelah wisuda Meva...

Bulan malam ini bulat utuh dan terang. Sinarnya memantul pada bagian luar benda kecil yg tengah gw pegang. Dia berputar lemah seiring gerakan tangan gw. Sesekali asap putih dari mulut gw menghalangi pandangan benda ini dari mata gw.

"Bintang keberuntungan," gw bergumam pelan menatap putarannya yg semakin melemah. Setelah beberapa saat berputar-putar dia berhenti bergerak. Gw taruh di telapak tangan kiri gw.

Sebuah gantungan kunci kecil dan manis, dengan bandul berbentuk bintang. Di bagian tengahnya ada ukiran huruf 'M'. Agak samar dan nyaris hilang. Gantungan kunci ini jelas sudah lama dipakai. Ada bagian-bagian di sisinya yg mengelupas. Beberapa detik lamanya gw pandangi lekat-lekat bintang kecil ini.

Dan sekali lagi gw putar.

Lalu ingatan gw melayang mundur beberapa langkah ke belakang, dan gw mendapati diri gw ada di dalam kamar gw, sedang menatap benda yg sama dg yg gw pegang sekarang.

Waktu itu beberapa hari setelah wisuda Meva...

"Itu bintang keberuntungan," suara Meva terdengar halus di telinga gw seolah gw benar-benar melewati lubang waktu dan kembali ke masa lalu.

Gw alihkan pandangan gw ke sosok wanita yg sudah mengisi hari-hari gw beberapa tahun terakhir ini. Meva duduk bersimpuh di hadapan gw, menatap gw dengan gaya tengilnya yg khas.

"Gw dapet dari Oma gw," lanjutnya.

"Wah Oma lo baik juga yah. Banyak mewariskan barang antik buat cucunya," gw berkomentar.

Meva mengangguk semangat.

"Oma gw memang Oma terbaik yg pernah ada di dunia ini," Meva nyengir lebar.

"......."

"Gw dikasih itu waktu pertama gw balik ke Indonesia. Tadinya gw pikir Oma gw bohong soal bintang keberuntungan, tapi beberapa kali bintang ini menyelamatkan gw."

"Ohya? Kok bisa?" gw mulai tertarik untuk mendengar lebih lanjut.

Sekali lagi Meva mengangguk dengan semangat.

"Tiap Natal yg gw lalui, cuma gw lewatkan di kamar seorang diri sambil curhat sama bintang ini. Terakhir, waktu gw berniat balik ke Jakarta pas malem natal beberapa tahun yg lalu...bintang ini seperti bicara ke gw dan menahan gw buat tetap di sini. Dan ternyata emang bener, lo nggak jadi terbang kan waktu itu? Coba kalo gw balik, mau tidur di mana loe malem itu?" Meva lalu tertawa renyah.

Gw senyum sendiri. Walau nggak sepenuhnya percaya soal 'keberuntungan', tapi gw percaya bintang ini punya makna sendiri buat Meva.

"Sekarang," kata Meva lagi. "Gw pengen lo jaga bintang ini baik-baik yah.."

Gw kernyitkan dahi.

"Ini, buat gw gitu maksudnya?" gw memastikan.

Meva mengangguk lagi.

"Anggep aja bintang ini adalah gw," ujarnya. "Lo taroh di dompet lo atau dimana kek. Jadi tiap lo kangen sama gw lo tinggal liat aja bintangnya..."

"Terus lo akan dateng gitu?" gw tau ini adalah pertanyaan bodoh dan klise yg cuma ada dalam novel-novel bertema cinta. Tapi entah kenapa gw pun mulai merasa kisah yg terjadi antara kami berdua layaknya sebuah roman yg ditulis seorang pujangga. Maka gw biarkan pembicaraan kami seperti itu.

"Enggak juga laah," Meva membuyarkan lamunan gw. "Gila aja kalo gw bisa ngilang dan dateng tiap lo liat bintangnya."

"Yaudah kalo gitu gw liat bintangnya semenit sekali deh, biar lo nya capek bolak-balik!"

Dan kami pun tertawa lepas...

Malam itu, persis seperti malam saat gw sekarang duduk di beranda ditemani bulan purnama yg cerah. Hanya ditemani bulan purnama yg cerah.....

Tanpa Meva......

Tanpa suaranya yg memekakan telinga.....

Dan tanpa sosoknya yg dulu dengan mudah gw temui di samping gw......

Gw tatap pintu kamar di hadapan gw.

Di balik pintu ini, betapa gw punya banyak kenangan. Di balik pintu ini, pernah ada seorang wanita 'aneh' yg berhasil membuat gw memahami arti cinta sesungguhnya. Di balik pintu ini, pernah gw simpan sebuah harapan tentang indahnya hidup. Dan di balik pintu ini juga, pernah ada sebuah kisah tentang sepasang kaos kaki hitam.....

Empat bulan berlalu setelah kepergian Meva. Dia memutuskan pulang ke Jakarta untuk kemudian bersama-sama Oma kembali ke Padang dan memperbaiki hubungan dengan keluarga besarnya yg selama ini renggang. Soal karir, dia juga memilih untuk mencoba peruntungan di tanah kelahiran ibunya.

Nggak banyak yg bisa gw lakukan buat menahan Meva untuk tetap di sini. Sudah waktunya dia menemukan hidupnya sendiri. Perbedaan yg ada antara kami, ternyata sangat mempengaruhi pilihan gw. Gw belum siap sepenuhnya menghadapi perbedaan itu.

Dan kini, setelah kepergiannya, gw cuma bisa terdiam mengenang waktu yg pernah terlewatkan antara kami. Gw nikmati lagi menit-menit itu, yg gw sadar sepenuhnya, nggak akan pernah kembali lagi.

"......."

Gw berdiri, menggenggam erat bintang di tangan gw. Tanpa gw sadar airmata mengalir mulus di kedua pipi gw. Terlambat buat gw mengusapnya. Airmata ini mengalir begitu saja tanpa sempat gw tahan. Airmata penyesalan yg gw sadari sepenuhnya, takkan pernah berarti apa-apa.

Entah berapa lama gw berdiri dalam diam. Gw tatap langit hitam yg menutupi bintang-bintang dari peraduannya. Hemmmppph.... Dan belum pernah gw lihat langit segelap ini....................



Next Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 26
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
Share This :

Artikel terkait : Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 25

Posting Lebih Baru Posting Lama

0 komentar: