Novel Laskar Pelangi Bag 6 (Gedong)

Laskar Pelangi Bag 6 (Gedong)
PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN.

Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain.

Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran menara Babylonia, sebuah taman kesayangan Tiran Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk, Gedong adalah land mark Belitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu akses keluar masuk seperti konsep cul de sac dalam konsep pemukiman modern. Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di

dalamnya memiliki nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan, atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader seperti nama orang-orang Melayu, dan mereka tidak pernah menggunakan bin atau binti.

Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, mengintergoasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni.

Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela-jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk.

Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasar-selasar panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi, dan gudang-gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan dan di tengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu.


Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadai dan Chysis digantungkan berderet-deret di bibir atap selasar dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertangga-tangga berisi kaktus Chaemasereas dan Parodia scopa. Untuk urusan bunga ini ada petugas khusus yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni dan ditopang oelh sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah burung merpati Inggris.

Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu dengan lampu-lampu yang teduh dan perabot utama di sana adalah sebuah sofa Victorian rosewood berwarna merah. Jika duduk di atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka raja. Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para penghuni rumah makan malam mengenakan busana senja yang terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup, lalu hadir caesar salad menu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale, atau …. Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with stawberry puree, buah-buah persik dan prem.
Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegan:Mozart: Haffner No. 35 in D Major. Mereka mematuhi table manner. Setelah melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya.

Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru. Mejanya juga berbeda yakni terracotta tile top oval yang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi omelet dan menyeruput the Earl Grey atau cappuccino, lalu mereka melemparkan remah-remah roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak.

Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna orang awam. Hamparan rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya dengan tinggi permukaan yang sama. Ada daya tarik tersendiri di situ. Tak ada parit, karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran, kafe members only, patung-patung, snooker bar, sudut-sudut tempat bermain anak-anak berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalan-jalan, kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing anggora.

Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil Victoria yang terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya menopang wajah murungnya sambil menguap berulang-ulang di samping sebuah instrumen megah: grand piano merk Steinway and sons yang hitam, dingin, dan berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib.

Bapaknya—seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk—duduk di sebuah kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya dibungkus sepatu mahal De Carlo cokelat yang elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram pada tingkah si tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata, setengah baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum. Beliau tak henti-henti memohon maaf pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya.
Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delf di Holland dari Fakultas
Werktuiqbouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaalwetenschappen, yang artinya kurang lebih: jago teknik.


Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite orang staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Bas beliau sanggup mengendalikan shift ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau hampir menyerah. Semakin keras suara bapaknya menghardik semakin lebar Flo menguap.
Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya ini bersikeras ingin menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankan Flo antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand piano itu didatangkan dengan kapal khusus dari Jakarta. Guru privat yang merupakan seorang instruktur musik profesional, juga khusus dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya,

bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak lebih dari uapan-uapan itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat karena pikirannya melayang ke sasana tempat ia latihan kick boxing dan angkat barbel.

Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar merefleksikan seringai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang dibelikan ibunya. Guru privat itu memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si dalam lintasan empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap notasi itu sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering. Flo menguap lagi.


Next Bagian 7 (zoom out)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.
 
Share This :

Artikel terkait : Novel Laskar Pelangi Bag 6 (Gedong)

Posting Lebih Baru Posting Lama

0 komentar: